Musim Sedekah Nilai
Awal-awal jadi guru dulu, saya termasuk yang idealis. Saya tidak mau menjadikan nilai minimal KKM kalau anak memang tidak layak mendapatkannya. Apa yang saya sebut tidak layak? Bocah di kelas selalu buat onar, tidak mau ditata, tugas tidak mengumpulkan, pas ulangan atau tes nilainya jeblok, disuruh remidi tidak mau. Nah, yang seperti ini saya anggap tidak layak, maka saya nilai di bawah KKM. Kalau mau, biar wali kelasnya sendiri yang ganti jadi KKM, meski harus ngedumel dikit juga sama saya. Padahal yang remidi atau mengumpulkan tugas, sebentuk-bentuknya kayak gimana pun, pasti sudah saya KKM-kan nilai rapornya. Kalau anak-anak yang manutan, sopan, pasti saya kasih KKM tanpa disuruh, meskipun nilai aslinya kadang juga jelek.
Saat saya ditunjuk jadi wali kelas, karena tuntutan jabatan, ya mau tidak mau semua nilai anak harus saya buat KKM. Pernah ada beberapa yang terpaksa tidak KKM, akhirnya harus rombak rapor. Rapor dulu kan sudah dalam bentuk buku yang diisi dengan tulisan tangan, jadi harus dibongkar staples-nya, diganti kertasnya yang ada nilai di bawah KKM dengan fotokopian, terus ditulis ulang semua nilainya.
Di waktu ini saya akhirnya mengalah. Semua murid saya beri nilai minimal KKM. Tapi kadang jadi tidak adil: yang nilai aslinya 3 atau 4 dijadikan 7, padahal sudah ada yang nilainya 9 lebih. Akhirnya nilai tinggi saya maksimalkan jadi 99. Kalau 3 jadi 7 kan naik 4, kalau adil, yang sudah 9 kan jadi 13. Begitu pikir saya. Oleh wali kelas lain yang menerima nilai mapel saya, saya diprotes lagi, “Pak Nasri ngasih nilai kok loman men.” Pie to kik, dulu ngasih nilai di bawah KKM disalahkan, sekarang jadi dermawan ngasih nilai tinggi disalahkan lagi.
Saat saya menjadi pimpinan, saya akhirnya juga terpaksa untuk memaksa para wali kelas agar memberi nilai lebih dari KKM. Kalau KKM-nya 7 misalnya, maka minimal nilai harus 7,5. Guru-guru saya, kebanyakan guru baru, fresh graduate, pasti ada yang keberatan. Ya seperti saya dulu kan. Saya bilang saja di depan, “Silakan kalau mau mengumpulkan nilai di bawah KKM, nanti saya sendiri yang akan ganti jadi KKM.” Sekarang kan lebih mudah meralat rapor, tinggal ganti file-nya, terus print.
Ah, sekarang ini angka memang bukan hanya jadi sedekah, mungkin sedekah yang sudah diobral besar-besaran. Tidak boleh di bawah KKM. KKM sekarang juga sangat tinggi. Padahal dulu pas saya sekolah, ‘nilai merah’ istilahnya, ya 5. Saya pernah sekali dapat nilai 5 pada mapel matematika, padahal gurunya di awal tahun pernah bilang kalau masuk terus tidak mungkin dikasih 5. Sekarang blas tidak ada nilai 5. Dulu jaman saya sekolah nilai ijazah juga selalu asli, minimal untuk beberapa mapel yang ditentukan. Sekarang? Ah… Tidak naik juga dilarang. Tidak lulus juga dilarang. Menegur anak tidak boleh. Mengeluarkan anak dari sekolah apalagi. Susah memang.
Melihat perjalanan itu, saya jadi sadar bahwa angka dalam rapor sering kali bukan lagi cerminan kemampuan, tetapi hasil tarik-menarik antara idealisme, tuntutan administrasi, regulasi, dan realitas lapangan. Dulu saya ngotot soal kelayakan nilai, lalu berhadapan dengan ‘sistem’ yang memaksa semua harus KKM, dan akhirnya justru ikut ‘menyulap’ angka demi mengejar ketentuan.
Di titik ini saya melihat bahwa dunia pendidikan kadang lebih sibuk menata angka daripada menata manusia. Guru ditekan aturan, murid dimanjakan kebijakan, dan akhirnya nilai jadi musim sedekah yang tidak lagi punya makna seperti dulu. Namun di balik semua itu, terselip pelajaran penting: bahwa kejujuran pendidikan tidak hanya soal angka, tetapi keberanian guru untuk terus berpikir jernih di tengah sistem yang berubah-ubah. Apakah saya bisa? Embuh!

Tidak ada komentar