Dilema Guru Bahasa Arab: Lulus PPG, Gagal TPG
Saya
mulai menjadi guru pada tahun 2009, meskipun baru lulus kuliah S1 pada 2011.
Masuk ke Dapodik pada 2017, kemudian mendapat panggilan PPG melalui SIMPKB pada
2019. Namun panggilan itu baru saya penuhi pada 2024 kemarin. Sejak 2019 saya
sudah membaca regulasi pemerintah tentang linearitas S1 dengan prodi PPG, yang
menyatakan kurang lebih bahwa ijazah S1 saya, jika kelak memiliki sertifikat
pendidik, hanya dinyatakan linear untuk mengajar di jenjang SMA. Sebenarnya sejak
dulu saya santai saja, tidak pernah terlalu memikirkan soal tunjangan sertifikasi. Ketika
memenuhi panggilan PPG pun saya juga tidak pernah membayangkan bagaimana nanti
proses pencairannya.
Hanya saja saya merasa perlu menuliskan ini terutama karena rasa solidaritas kepada teman-teman satu angkatan PPG Bagi Guru Tertentu Periode 2 Tahun 2025. Ada 200 lebih mahasiswa PPG Bahasa Arab yang berada di satu grup WhatsApp dengan saya dan banyak yang mengeluhkan hal yang sama. Siapa tahu tulisan ini bisa meneruskan suara mereka kepada para pemegang kebijakan.
Kami
semua dipanggil PPG melalui SIMPKB, yang berarti pemanggilan dilakukan oleh
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, bukan oleh Kementerian Agama. Karena
semua dari kami adalah guru di sekolah-sekolah di bawah Kemendikdasmen, mulai dari
tingkat TK, SD, SMP hingga SMA/SMK. Artinya, menurut pemerintah, kami dinyatakan
memenuhi kualifikasi untuk mengikuti PPG. LPTK penyelenggaranya pun UNNES,
kampus di bawah Kemendiktisaintek, bukan di bawah Kemenag.
Saat
ini kami semua sudah dinyatakan lulus PPG. Sudah ada SKL, nomor sertifikat
pendidik, dan tinggal menunggu wisuda, sertifikat fisik, serta NRG. Namun
muncul kembali pesimisme saat membaca Salinan Keputusan Mendikdasmen RI Nomor
222/O/2025 tentang Kesesuaian Bidang Tugas, Mata Pelajaran, dan Kelompok Mata
Pelajaran dengan Sertifikat Pendidik tertanggal 13 November 2025. Di sana masih
tertulis jelas bahwa ijazah kami hanya dinyatakan linear untuk mengajar Bahasa
Arab di tingkat SMA dan SMALB. Artinya, regulasi dari pemerintah tidak mengakui
linearitas jam mengajar kami kecuali di tingkat SMA. Dampaknya jelas: kami
dianggap tidak memenuhi syarat pencairan TPG.
Terlihat
seolah ada ketidaksinkronan regulasi di sini: guru dipersilakan masuk dan lulus
PPG, tetapi setelah itu tidak diberi ruang untuk memenuhi syarat pencairan TPG.
Selama
ini, secara regulasi tertulis jam mengajar Bahasa Arab memang hanya diakui
untuk SMA. Namun ketika saya tanyakan kepada operator sekolah, mata pelajaran
tersebut ternyata juga tidak tersedia di Dapodik sekolah. Saat operator bertanya
ke Cabang Dinas, jawabannya kurang lebih: “Bahasa Arab itu masuk ke MA”.
Padahal kami mengajar di sekolah di bawah Kemendikdasmen. Jika di sekolah di
bawah Kemenag, masalah seperti ini tentu tidak akan muncul; guru Bahasa Arab
bisa mengajar di MI, MTs, hingga MA.
Apa
solusi yang mungkin?
1. Memasukkan Bahasa Arab ke
struktur kurikulum SD, SMP, dan SMA.
Banyaknya guru Bahasa Arab yang mempunyai
sertifikat pendidik, tapi mengajar selain di tingkat SMA, dan tidak dapat mencairkan tunjangan
sertifikasi adalah karena Bahasa Arab hanya masuk dalam struktur kurikulum SMA.
Kenyataanya, banyak sekolah Islam
yang mengajarkan Bahasa Arab di berbagai jenjang, SD, SMP, SMA/SMK, bahkan TK. Jika kurikulum nasional mengakomodasi ini, maka
guru bersertifikat pendidik Bahasa Arab tak harus bergantung pada SMA untuk
memenuhi jam mengajar.
2. Melinearkan Bahasa Arab dengan
Pendidikan Agama Islam.
Di grup PPG angkatan kami banyak
yang mengusulkan opsi ini. Bukan hal aneh jika Bahasa Arab dilinearkan dengan
mata pelajaran PAI. Beberapa prodi keislaman berada dalam rumpun yang sama:
Bahasa Arab mendukung pemahaman teks agama, Al-Qur’an, hadis, fikih, dan
keilmuan keislaman lainnya. Secara keilmuan, argumentasinya cukup kuat dan
masuk akal jika pemerintah bersedia membukanya sebagai jalur linearitas.
3. Mengangkat guru Bahasa Arab
sebagai kepala sekolah.
Penugasan guru sebagai kepala
sekolah otomatis memenuhi beban 24 jam tanpa harus mengajar. Dengan demikian
tidak ada persoalan linearitas jam untuk pencairan TPG. Meski solusi ini tidak
universal, tetapi cukup realistis bagi banyak lembaga, utamanya bagi sekolah di
bawah naungan yayasan/organisasi Islam.
Perjalanan
saya dari mulai mengajar, mengikuti PPG, hingga menghadapi keluh kesah persoalan
linearitas ini mengajarkan bahwa menjadi guru bukan hanya soal memenuhi
administrasi, tetapi juga soal keteguhan hati menghadapi sistem pendidikan di
negeri kita yang pasti akan terus berubah. Terkadang perjuangan guru tidak
berhenti pada mengajar di kelas atau aktifitas pendidikan di sekolah saja,
tetapi juga pada upaya memperjuangkan kejelasan status dan hak profesionalnya.
Di satu sisi saya yakin banyak guru yang tetap bertahan bukan karena insentif, melainkan karena panggilan jiwa. Namun di sisi lain pemerintah juga perlu mendengar suara kami: bahwa perjuangan guru mencerdaskan anak bangsa harus dibarengi regulasi yang adil, sinkron, dan berpihak pada keberlangsungan profesi guru itu sendiri. Semoga pengalaman ini menjadi pengingat bahwa perjuangan kami belum selesai, tetapi juga tak pernah sia-sia.
Saya sebagai guru bahasa Arab sangat terwakilkan dengan adanya tulisan ini. Semoga segera direalisasikan
BalasHapusSemoga pesan tersampaikan dan ditindaklanjuti oleh para pengambil kebijakan
Hapus