Peran Muslimah dalam Dakwah
Oleh: M. Nasri Dini
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat [49] :
13)
Dari ayat diatas secara umum dapat kita fahami bahwa dalam syariat Islam kedudukan
semua manusia, termasuk halnya laki-laki dan perempuan adalah sama. Yang
membedakan mereka disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah ketakwaan
dan amal shalih yang mereka kerjakan. Sedangkan dalam hal kewajiban-kewajiban
menjalankan perintah agama kedudukan mereka adalah sama kecuali jika ada nash
tertentu baik dari Al-Qur’an maupun sunnah yang membedakannya.
Namun demikian hingga saat ini masih saja kita dapati di masyarakat kita
banyak kalangan yang diskriminatif dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan.
Termasuk dalam hal dakwah amar makruf nahi munkar, kebanyakan masyarakat kita
seolah-olah hanya membebankan kewajiban dakwah di pundak para laki-laki saja,
sedangkan perempuan terbebas dari kewajiban mulia tersebut. Padahal kaum
perempuan juga diberi beban yang sama oleh syariat agama dalam tugas dakwah
ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah [9]: 71)
Kiprah dakwah kaum perempuan dapat dilakukan
dalam berbagai macam aktivitas dan peran yang dimilikinya, baik secara khusus
di rumahnya berdakwah kepada anggota keluarga penghuni rumahnya (suami dan
anak-anaknya) dan juga kepada perempuan-perempuan lain di masyarakat dan negara
ini secara umum.
Perempuan sebagai istri
Ketika seorang laki-laki
merasa kesulitan, maka sang istri-lah yang bisa
membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istri-lah yang dapat
menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri-lah yang dapat
menyemangatinya.
Termasuk pula dalam hal dakwah, sebagaimana suami yang wajib berdakwah kepada
istri, begitu pula istri juga harus bisa dan mau berdakwah kepada suaminya.
Ketika suaminya dalam kondisi yang melenceng dari ajaran agama atau melanggar
syariat-Nya karena tergelincir maupun secara sengaja, maka sang istri-lah yang
pertama kali wajib mengingatkan, beramar makruf nahi munkar kepada suaminya
agar suami mau segera beristighfar dan kembali kepada jalan yang benar.
Teladan kaum Muslimah,
Khadijah radiyallahu ‘anha dalam mendampingi Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam di masa awal kenabian beliau, ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam merasa ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepada
beliau dan merasa kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah radiyallahu
‘anha kepadanya?
“Demi
Allah. Allah
tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung
silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang
yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya
menegakkan kebenaran.” (H.R.
Muttafaqun ‘alaih)
Sungguh istri adalah orang yang sangat
mempunyai pengaruh besar pada keluarga mereka, termasuk kepada suami mereka.
Bahkan ada rumah tangga yang segala macam urusannya dikendalikan oleh istri
karena sang suami sudah merasa lelah beraktifitas di luar rumah. Sehingga jika
istri mengatakan sesuatu kepada suaminya seringkali suami menurutinya tanpa
banyak berkomentar.
Tentunya kita ingat dengan
kisah Firaun sesaat setelah istrinya (Asiyah rahiallahu ‘anha) menemukan
bayi yang dihanyutkan di sungai Nil. Dikala Firaun bersikeras akan membinasakan
bayi tersebut sesuai dengan programnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki
yang lahir dari kalangan bani Israil, sang istri berkata kepadanya, “Janganlah
kalian membunuh bayi ini sebab dia penyejuk mata kita berdua, barangkali ada
manfaatnya buat kita sebagai pelayan atau kita jadikan sebagai anak angkat.”
Mendengar ‘dakwah’ dari istrinya tersebut, tidak ada pilihan lain untuk Firaun
kecuali satu, menurutinya. Dan pada kemudian hari, bayi yang ditemukan di
sungai Nil tersebut diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi
salah satu nabi terbesar yang diutus kepada bani Israil, yaitu Musa ‘alaihis
salam.
Perempuan sebagai ibu
Diantara ajaran Islam yang menunjukkan penjagaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala terhadap perempuan dan kedudukan utama seorang perempuan adalah
dengan menempatkan perempuan di rumah untuk menyiapkan generasi penerus yang
baik di masa depan.
Maka semestinya, kaum perempuan hendaknya menjadikan
rumahnya sebagai istananya, karena memang itulah (rumah) medan kerja mereka
yang sesungguhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Hendaklah kaum perempuan (perempuan muslimah),
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku seperti orang
-orang jahiliyah dahulu." (Q.S. Al-Ahzab [33] : 33)
Dirumah,
perempuan mempunyai peran sangat penting, yaitu mencetak anak–anaknya menjadi
generasi penerus yang kelak dapat menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggikan kalimat laa ilaaha illallah di atas permukaan
bumi. Sehingga meskipun perempuan berkarya di berbagai bidang tidak membuat
seorang perempuan melupakan tugas utamannya sebagai ‘madrasatul ula’,
sumber pendidikan pertama bagi anak–anaknya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا
رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan
perempuan menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai
pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (H.R. Bukhari
no. 2409)
Perempuan sebagai ibu merupakan seseorang
pemimpin yang senantiasa diharapkan kehadirannya bagi anak-anaknya sebagai
pihak yang dipimpinnya. Seorang ibu dapat menjadikan anak-anaknya menjadi orang
yang baik. Demikian pula sebaliknya, seorang ibu bisa juga dengan mudah menjadikan
anaknya menjadi orang yang jahat sesuai keinginannya. Baik buruknya
seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang
menjadi panutan anak-anaknya.
Betapa banyak
anak-anak yang tidak terbiasa melalukan kebaikan karena tidak melihat ibunya
melakukan hal tersebut. Anak-anak yang saat mendengangar azan tetap saja pada
aktifitasnya karena ibunya juga tidak mengajarkan shalat di awal waktu.
Yang paling ekstrim adalah seperti
istri Nabi Nuh ‘alaihis salam yang berhasil mengajak anaknya tetap pada
kekafiran, mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ayahnya sebagai
pengemban risalah-Nya. Anak Nabi Nuh ‘alaihis salam kafir karena
pengaruh ibunya yang juga kafir. Hingga pada akhirnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala turut membinasakan mereka (istri dan anak Nabi Nuh ‘alaihis salam)
dalam azab yang diturunkan kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam yang
tidak mau beriman. Na’uzubillah.
Demikianlah, kebanyakan anak-anak
memang lebih akan memilih untuk mengikuti ibunya daripada ayahnya karena sang
ibu-lah yang lebih banyak membersamai anak-anak mereka sejak dalam kandungan,
saat masih kecil sampai setelah mereka beranjak dewasa. Karena posisi ibu yang
berada di rumah sedangkan ayah mereka bekerja, beraktifitas dan berdakwah
diluar rumah. Sehingga tugas dakwah dan beramar makruf nahi munkar di rumah
akan jauh lebih efektif jika dilakukan oleh sang ibu kepada anak-anak meraka.
Semoga para muslimah saat ini bisa
seperti Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha yang berhasil menjadikan anaknya
sebagai putra yang shalih. Anaknya yang bernama Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu masuk Islam karena pengaruh ibunya yang juga seorang muslimah.
Padahal bapaknya adalah seorang kafir dan dengan keras melarangnya untuk
mengikuti ibunya yang beriman kepada kenabian Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.
Perempuan sebagai anggota
masyarakat
Salah satu tugas dakwah perempuan dalam dakwah adalah menjadi penggerak
dalam komunitas keperempuanan, memberikan pendapat, arahan, dan contoh amal
shalih nyata dalam bermasyarakat dan bernegara. Dalam pertemuan-pertemuan
ibu-ibu yang seringkali digunakan untuk menggunjing dan memperbanyak ghibah,
para ummahat muslimah selayaknya dapat berperan aktif sebagai penyeimbang
dengan memberikan nasihat-nasihat hikmah dan beramar makruf nahi munkar. Bukan
malah larut dan ikut-ikutan arus keburukan di masyarakat.
Termasuk juga dalam komunitas kajian ibu-ibu di masyarakat sudah saatnya
untuk mulai dimunculkan da’iyah-da’iyah, para pendakwah perempuan. Sehingga
dalam kajian-kajian ilmiyah yang digelar para ibu tersebut para pengisinya dapat
berinteraksi lebih leluasa dengan perempuan lain sebagai mad’u (objek
dakwahnya) daripada jika yang menyampaikan adalah da’i kaum lelaki.
Perempuan sebagai tiang Negara
Bisa dikatakan bahwa salah satu kunci
perbaikan bangsa ini adalah terletak pada pundak perempuan. Pada penjagaan diri
dan kehormatannya. Pada rahim subur yang akan melahirkan generasi yang lebih
baik dan pemimpin-pemimpin selanjutnya. Termasuk juga pada kelembutan dan kasih
sayangnya yang mampu membelai dan menentramkan semesta. Salah satu kata mutiara
arab mengatakan,
الْمَرْأَةُ
عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ
الْبِلاَدُ
“Perempuan adalah tiang suatu negara,
apabila perempuannya baik maka negara akan baik dan apabila perempuan rusak
maka negara pun akan rusak.”
Jika perempuan adalah tiang negara, maka itu dimulai darinya yang merupakan tiang sebuah rumah tangga. Dan untuk mewujudkan tegak dan kokohnya sebuah negara tentu tidak akan cukup hanya dengan satu tiang saja yang menopangnya. Darinya diperlukan tiang-tiang yang lainnya untuk membantu menahan beban atap negara, yaitu berbentuk kumpulan keluarga yang membentuk masyarakat yang dibangun diatas pondasi syariat Islam yang tegak. Salah satunya hasil dari peran dakwah kaum muslimah. Wallahu a’lam
*) Tulisan ini dimuat pada Majalah Tabligh edisi no. 2/XII - Shafar 1436 H

Tidak ada komentar