Bercermin Pada Murid
Muhammad Nasri Dini
Guru MTs Muhammadiyah Blimbing Sukoharjo
Sebagai
seorang pendidik atau guru, tidak cukup rasanya jika kita hanya mengandalkan
kata-kata saja saat menasihati murid kita. Namun, seorang guru juga dituntut
untuk melengkapi dirinya dengan kemampuan ‘membaca’ setiap ‘kebandelan’ peserta
didik atau siswa mereka. Baik itu ‘kebandelan’ dalam hal perkataan maupun
perbuatan. Misalnya saja; siswa yang gemar berkata keras atau kasar, mengobrol
saat pelajaran, apalagi membantah saat kita beri nasihat. Hal yang menarik
untuk kita renungkan sebagai bahan introspeksi diri kita sebagai guru.
Kita
pasti sering mendengar pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Pepatah singkat yang sewajarnya dapat membuat kita bercermin saat melihat
tingkah ‘bandel’ murid-murid kita. Jangan-jangan sebagian dari perilaku mereka
itu ternyata mereka ‘teladani’ dari kita sebagai gurunya. Ya, siswa akan
otomatis menerima apa yang dilihat disekitarnya termasuk gurunya untuk kemudian
dengan mudahnya mereka lakukan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Maka
alangkah baiknya kalau hal-hal yang dikerjakan dan ditunjukkan guru pada
siswanya adalah perbuatan yang baik sehingga siswa kita juga dapat meneladani
kebaikan tersebut.
Karena
jika diibaratkan siswa kita tersebut sebagai kertas putih, maka tugas kita
sebagai wakil orangtua mereka disekolah yang akan mengisi kertas putih itu
dengan apa. Penuh dengan coretan tanpa makna, berisi tulisan kaligrafi atau
lukisan yang indah, atau malah kertas putih itu justru sobek berantakan tanpa
bentuk. Hal ini sebagaimana apa yang pernah disampaikan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dalam sebuah sabda beliau: “Setiap bayi itu
dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang (kemudian) membuatnya
menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi. ” (HR. Bukhari)
Anak
itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Yang berarti, akan menjadi apa mereka
selanjutnya tergantung dari sesuatu yang ada dan diterima dalam jiwa anak
itu. Seperti halnya mereka tidak beragama Islam dan malah menjadi Yahudi,
Nasrani maupun Majusi itu hanyalah lantaran pengaruh orangtuanya maupun
orang-orang disekitarnya. Tentu saja termasuk kita sebagai guru mereka di
sekolah.
Disamping
orangtua, peran guru di sekolah tidak kalah pentingnya dalam membentuk
kepribadian siswanya. Karena kepribadian anak tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor keluarga atau orangtua mereka dirumah saja, akan tetapi lingkungan
sekitar dan sekolah pun juga sangat besar dalam memberi pengaruh. Dan
sebagaimana yang terjadi di rumah, di sekolah pun seorang anak juga sangat
berpotensi menjadi seorang peniru. Kalau di rumah mereka merekam dan meniru apa
yang dilakukan orangtuanya maka di sekolah yang mereka tiru adalah gurunya,
orangtua kedua yang dimilikinya di sekolah. Guru yang secara terang-terangan
memperlihatkan hal-hal yang tidak baik kepada muridnya baik perkataan maupun
perbuatannya, maka sangat tidak mustahil hal itulah yang akan dijadikan contoh
dan dilakukan oleh muridnya.
Kalaupun murid tidak mencontoh langsung perbuatan itu dari gurunya, maka perbuatan dan perkataan gurunya tersebut akan dijadikan alasan dan pengesahan untuk membenarkan perbuatan buruknya jika suatu saat nanti guru memberinya nasihat. Dengan kata lain, kita harus menjadi teladan seutuhnya bagi siswa. Tidak hanya pintar menasihati dan menceramahi anak didik saja tanpa kita tunjukkan dalam perilaku nyata. Bahkan pada akhirnya nanti barangkali kita tak perlu banyak memberi nasihat lagi, tapi siswa langsung bisa melihat contoh nyata melalui perbuatan yang kita tunjukkan pada mereka. Sehingga guru diharapkan benar-benar bisa menjadi sosok yang ‘digugu lan ditiru’ (jawa=ditaati dan diteladani). Semoga. Wallahu a’lam
*) Tulisan ini sebelumnya dimuat pada Kolom Guru Kita di Majalah Hadila edisi 78 - Desember 2013
Tidak ada komentar