Tidak Wajib Sebut Saya Doktor
“Mas Doktor”, “Pak Doktor”, begitu beberapa orang memanggil saya akhir-akhir ini. Meskipun saya memang menyandang gelar "doktor anyaran", saya menyadari betul bahwa gelar bukan alasan untuk saya merasa lebih tinggi dari orang lain. Justru sebaliknya, semakin tinggi gelar (juga ilmu), seharusnya semakin besar tanggung jawab untuk tetap rendah hati.
Dalam berbagai acara kemasyarakatan, kadang ada yang berusaha menyebut gelar lengkap saya, bahkan kadang sampai terdengar belibet. Pernah juga ada yang keliru memanggil “dokter”, padahal tentu saja itu berbeda.
Karena itu, dalam satu kesempatan saya sampaikan secara terbuka, kalau di acara-acara umum di lingkungan masyarakat, cukup panggil “Bapak” saja. Atau “Ustadz”, jika sedang diminta mengisi pengajian. Juga "Mas" dalam penyebutan santai di luar acara. Tidak perlu susah-susah menyebut gelar lengkap. Saya tidak merasa terganggu sama sekali jika tidak disebutkan gelar akademik saya. Bagi saya, itu bukan berarti mereka tidak menghormati saya.
Berbeda halnya jika dalam konteks akademik atau forum resmi keilmuan, di sana tentu penggunaan gelar ada tempat dan tata kramanya. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, gelar tidak perlu menjadi sekat atau jarak antara kita dan masyarakat.
Gelar bukan untuk kebanggaan kosong, apalagi untuk menuntut perlakuan khusus. Saya percaya, seseorang dinilai bukan semata dari gelarnya, tetapi dari peran dan kontribusi nyatanya. Maka saya memilih menempatkan diri sesuai peran. Kalau sedang di masyarakat, ya berbaur sebagaimana masyarakat.
Ini saya lho ya. Kalau ada orang lain yang ingin tetap disebut lengkap gelarnya juga sah-sah saja. Saat berbicara di forum, saya pun juga akan menyebutkan gelar akademik orang untuk menghormati mereka.

Tidak ada komentar