Muhammadiyah: Antara Pendidikan dan Tambang
Saya sama sekali bukan apa-apa di Persyarikatan ini, mungkin hanya setara
dengan satu butiran debu jika dibandingkan dengan para pembesar di sana. Maka
sebenarnya juga tidak pantas jika berkomentar tentang hal-hal yang besar yang
dilahirkan oleh para pengambil keputusan. Bukan sebagai kritik sebenarnya,
hanya ungkapan pribadi untuk direnungkan sendiri saja. Saya berusaha
tahan-tahan, tapi sepertinya terpaksa harus keluar juga.
Saya mencari nafkah (takut ada yang nyinyir jika
menyebut diri dengan berjuang) di salah satu amal usaha persyarikatan bidang
pendidikan. Di sekolah itu ada banyak sekali ‘tarikan’ dari persyarikatan. Di
antaranya:
1. Uang Infak
Siswa (UIS) yang nominalnya berbeda-beda antara tingkat SD, SMP, dan SMA;
2. Uang Infak
Guru (UIG) dan Uang Infak Karyawan (UIK) yang nominalnya berbeda-beda antara
GTT, GTY, PNS/DPK, dan sertifikasi;
3. Gerakan
Infak Muhammadiyah (GIM) untuk siswa, dihitung dengan nominal tertentu sesuai
jumlah siswa;
4. GIM untuk
lembaga (yang hitungannya juga per siswa);
5. Gerakan
jumat seribu, juga sesuai jumlah siswa;
6. Dana
Pembangunan Pendidikan (DPP) yang secara ketentuan adalah 30 persen dari uang
DPP yang dibayarkan orang tua, meskipun yang terakhir ini selama ini belum
berjalan maksimal di tempat kami, baru sekolah-sekolah tertentu dan itu pun
juga tidak sampai 30 persen;
7. Ada juga
tarikan lain yang sifatnya tidak rutin, di antaranya oleh ortom pelajar
Muhammadiyah dan Lazismu.
Dana-dana tersebut biasanya disetorkan pada PDM,
beberapa oleh PCM. Yang selanjutnya katanya secara prosentase akan dibagi
antara PCM, PDM, PWM dan PPM (saya cari-cari surat edarannya ketlisut, he).
Ada gaji guru saja yang masih dengan nominal kecil,
itu pun dibayarkan tiap tiga bulan nunggu BOS cair, masih harus mikir iuran ini
itu. Saya bahkan pernah menyaksikan sendiri salah satu kepala sekolah pingsan,
setelah mendengar ceramah pimpinan yang menekan tentang banyaknya iuran ini
itu. Kondisi AUM pendidikan berbeda-beda, ada yang memang masih ada sisa banyak
jika ada tarikan-tarikan seperti di atas, ada yang terengah-engah, bahkan ada
yang sampai mengeluh karena seperti tidak bisa bernafas. Di antara keluhan yang
pernah saya dengar langsung disampaikan di depan forum pimpinan,
“Pak, kita ini seperti berjuang sendiri membesarkan
sekolah. Kemudian kita dituntut untuk ini dan itu, iuran ini dan itu. Tapi di
sisi lain jika kita mengeluhkan sesuatu ke pimpinan persyarikatan, pasti
diminta juga untuk menyelesaikan sendiri. Sebenarnya apa kontribusi nyata para
pimpinan bagi kemajuan sekolah kami?”
Meskipun ini tidak terjadi di semua sekolah, misalkan
di sekolah kami, pimpinan persyarikatan sangat berperan aktif dalam kemajuan
dan perkembangan sekolah. Tapi banyak pengelola sekolah yang pernah mengeluhkan
ke saya bahwa pimpinan tak mau tahu dengan kondisi yang terjadi di sekolah,
singkatnya: urusen dewe.
Maksud saya, dalam mengurusi pendidikan saja ternyata
masih seperti ini yang terjadi, masih sangat terasa kesenjangan di dalamnya.
Masih teramat banyak PR yang harus diselesaikan. Lha kok mau-maunya mengurusi
satu hal yang sama sekali asing. Tambah lagi yang menjadi penanggung jawab juga
pribadi yang akhir-akhir ini sudah dikenal bermasalah oleh khalayak umum, tidak
hanya oleh warga persyarikatan. Kita tentu juga masih ingat bahwa persyarikatan
hampir saja (atau malah sudah) kena kasus dalam masalah perbankan di tingkat
nasional karena mengakuisisi bank yang salah. Itu di tingkat pusat. Di tingkat
daerah, setidaknya dari sedikit pengetahuan saya, kacau saat mengurusi hal yang
berkaitan dengan uang.
Ada yang berargumen, dulu persyarikatan ini juga
dicibir saat akan mendirikan rumah sakit di awal-awal. Tapi buktinya saat ini
institusi kesehatan milik persyarikatan menjamur dan sukses membantu pemerintah
pada bidang kesehatan di banyak tempat. Para pimpinan kita lebih punya
pandangan besar dan ke depan daripada kita yang mungkin masih tinggal di dalam
tempurung ini.
Saya bingung harus mengaminkan atau tidak jika ada
yang mengatakan bahwa masuknya persyarikatan di dunia baru ini pada puncaknya
adalah juga untuk mensejahterakan kita semua. Pada waktunya nanti, tidak ada
lagi tarikan-tarikan. Yang ada guru akan dengan sukarelah menyetorkan apa yang
dia punya, saking banyaknya gaji yang dia terima. Hasil dari AUMT bisa
digunakan untuk subsidi kesejahteraan para pengelola pendidikan.
Apa inti dari tulisan ini? Tidak ada. Hanya ingin mengungkap isi hati saja. Anggap saja begitu. Jangan dianggap pembangkangan dan bentuk tidak ‘tsiqah kepada qiyadah’!
Tidak ada komentar