Header Ads

Header ADS

Konsep Perilaku Pada Level Kelompok


Oleh: Djamal S. Askar, Muhammad Nasri Dini, Sulaeman

Mahasiswa Pascasarjana S2 Manajemen Pendidikan Islam IAIN Surakarta

 

PENDAHULUAN

Perilaku organisasi pada hakikatnya bertumpu pada ilmu perilaku itu sendiri, yakni bidang yang berfokus pada pemahaman terhadap tindakan manusia di dalam organisasi. Studi ini menyoroti dua komponen penting: individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku tersebut. Dengan kata lain, organizational behavior adalah studi tentang bagaimana individu dan kelompok bertindak dalam suatu sistem sosial yang terstruktur, serta bagaimana organisasi itu memengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku manusia.

Seperti yang dikemukakan oleh Kelly dalam karyanya Organizational Behavior, perilaku organisasi memuat interaksi dan hubungan timbal balik antara organisasi dan individu. Tujuan akhirnya adalah mengarahkan perilaku manusia agar selaras dengan pencapaian tujuan bersama. Stephen P. Robbins juga mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang secara sengaja diatur untuk mencapai sasaran tertentu secara berkesinambungan.

Dalam konteks ini, perilaku tidak sekadar dipahami sebagai tindakan, tetapi juga mencakup cara berpikir (way of thinking or behaving). Robbins memandang organizational behavior sebagai bidang kajian tentang dampak individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi, dengan tujuan meningkatkan efektivitas organisasi.

Di era modern, kemajuan teknologi, kompetisi global, dan dinamika sosial menuntut kerja sama lintas disiplin dan lintas departemen. Pemikiran kolektif terbukti lebih kuat dibanding pemikiran individual. Karena itu, membangun sebuah tim menjadi kunci penting dalam keberhasilan organisasi. Proses team building mencakup seleksi, pengembangan, pelatihan, dan fasilitasi agar setiap anggota mampu bekerja menuju tujuan bersama dengan motivasi dan kebanggaan.

Seorang team builder idealnya dapat memenuhi dua tuntutan utama: pertama, hasil kerja yang berkualitas dan tepat waktu; kedua, pemenuhan kebutuhan psikologis anggota agar merasa adil dan terhindar dari konflik. Kolaborasi dan saling berbagi pengetahuan menjadikan tim mampu menyelesaikan pekerjaan lebih efektif daripada individu. Dalam pengertian Robbins, a team is a group organized to work together to accomplish a set of objectives that cannot be achieved effectively by individuals.

Tim dapat bersifat permanen (natural teamwork) atau temporer (cross-functional action team). Bentuk yang paling maju disebut self-directed team, yaitu kelompok yang bekerja secara mandiri dengan tingkat otonomi tinggi dan pengawasan minimal.

Banyak organisasi kemudian menjadikan pembangunan tim sebagai bagian dari strategi organizational development. Kelompok dan tim memang dua konsep berbeda. Kelompok (group) sekadar kumpulan individu yang berinteraksi untuk berbagi informasi atau membantu dalam lingkup kewenangan masing-masing, tanpa sinergi kolektif. Sebaliknya, tim menghasilkan positive synergy melalui koordinasi yang terarah. Upaya individu di dalamnya menyatu menghasilkan kinerja kolektif yang lebih besar daripada sekadar jumlah kontribusi masing-masing anggota.

 

KONSEP PERILAKU TIM

Tim kerja merupakan jantung dari efektivitas organisasi modern. Robbins dan Judge (2008) menjelaskan bahwa tim kerja adalah kelompok yang usaha individunya menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada akumulasi masukan per individu. Hal ini berarti, sinergi tim memberikan hasil yang melampaui kemampuan anggota jika bekerja sendiri.

Allen (2004) menggambarkan anggota tim sebagai pribadi yang sportif, sensitif, dan mudah bergaul, dengan kemampuan membaca dinamika emosional kelompok secara mendalam. Mereka bekerja secara terkoordinasi sehingga tercipta sinergi positif. Daft (2003) menambahkan bahwa team adalah unit yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan berkoordinasi dalam menyelesaikan tugas spesifik.

Katzenbach dan Smith memandang tim sebagai sekelompok kecil orang dengan keterampilan saling melengkapi dan komitmen yang kuat terhadap tujuan bersama. Hunsaker mempertegas, bahwa kerja tim merupakan kolaborasi dengan efisiensi tinggi yang didorong oleh kepercayaan dan tanggung jawab bersama.

Dalam membangun tim, terdapat beberapa komponen dasar. Pertama, keberadaan minimal dua individu yang berinteraksi secara rutin. Kedua, adanya tujuan kinerja yang sama, yang menyatukan mereka dalam semangat kolektif. Tanpa interaksi dan tujuan bersama, kelompok tersebut tidak dapat disebut sebagai tim.

Manfaat kerja tim sangat nyata: beban kerja menjadi lebih ringan, semangat kebersamaan meningkat, dan produktivitas organisasi pun bertambah. Tim juga memungkinkan efisiensi waktu serta inovasi yang lebih cepat. Popularitas kerja tim dalam organisasi meningkat karena beberapa alasan. Kinerja tim terbukti lebih unggul dari individu, serta lebih adaptif terhadap perubahan yang cepat. Tim dapat dengan mudah dibentuk, dibubarkan, dan diarahkan kembali sesuai kebutuhan organisasi.

Robbins mengelompokkan tipe-tipe tim menjadi empat:

  1. Problem solving team, yaitu kelompok dalam departemen yang rutin membahas cara meningkatkan kualitas, efisiensi, dan lingkungan kerja.
  2. Self-managed work team, kelompok yang mengerjakan pekerjaan saling terkait dan bertanggung jawab secara langsung atas hasilnya tanpa pengawasan intensif.
  3. Cross-functional team, yang terdiri dari karyawan lintas fungsi dan departemen untuk menangani tugas tertentu.
  4. Virtual team, yaitu tim yang memanfaatkan teknologi digital untuk berkolaborasi jarak jauh demi tujuan bersama.

 

TEAM EFFECTIVE

Membangun kerja sama dalam tim yang solid dan efektif bukan perkara mudah. Keberhasilan tim sangat bergantung pada fondasi nilai yang dibangun di dalamnya. Salah satu kunci utama adalah memiliki visi dan misi yang sama. Tanpa kesamaan arah, kerja tim akan terpecah, seperti seseorang ingin menuju utara sementara lainnya memilih selatan. Karena itu, kesamaan visi dan misi menjadi landasan yang mengikat seluruh anggota.

Rasa saling percaya juga merupakan prasyarat mutlak. Tanpa kepercayaan, setiap anggota akan bekerja sendiri-sendiri, kehilangan semangat kolektif, dan merusak ritme kerja. Kepercayaan membuat anggota yakin bahwa rekan-rekannya akan menunaikan tanggung jawab dengan baik.

Selain itu, komunikasi yang intensif menjadi penopang utama. Ketika komunikasi tersumbat, koordinasi terganggu dan tujuan tim tidak akan tercapai. Oleh karena itu, komunikasi harus dibangun melalui pertemuan rutin maupun melalui aplikasi digital seperti WhatsApp atau Line. Yang terpenting bukan medianya, melainkan keterbukaan antaranggota.

Tim yang solid juga perlu memperkuat hubungan personal di luar konteks pekerjaan. Aktivitas seperti makan siang bersama, olahraga, atau kegiatan sosial dapat mempererat chemistry dan menumbuhkan rasa saling memahami.

Selanjutnya, sistem penghargaan menjadi pendorong motivasi. Pemberian reward tidak hanya mengakui prestasi individu, tetapi juga menumbuhkan semangat kolektif. Bentuk penghargaan bisa sederhana, seperti “karyawan terbaik bulan ini” atau bonus atas kontribusi luar biasa. Prinsipnya, setiap usaha patut diapresiasi agar semangat tim tetap menyala.

Pemahaman peran dan tanggung jawab juga sangat penting. Seperti dalam tim sepak bola, tidak semua bisa menjadi penyerang atau penjaga gawang. Setiap anggota harus memahami fungsinya dalam struktur tim. Kesadaran ini membantu fokus dan efisiensi dalam bekerja.

Kompetensi pun perlu terus ditingkatkan. Ketika kemampuan antaranggota terlalu berbeda, ketimpangan bisa menghambat produktivitas. Karena itu, pelatihan dan pengembangan kompetensi harus menjadi bagian dari budaya organisasi.

Saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat adalah tanda kedewasaan dalam tim. Perbedaan justru memperkaya ide dan solusi. Dengan sikap saling menghormati, perbedaan tak akan memecah belah, melainkan memperkuat kohesi sosial dalam kelompok.

Selain itu, komitmen kuat dari setiap anggota menjadi fondasi utama. Tim yang solid tidak akan berjalan baik bila sebagian anggotanya kehilangan semangat. Ketika satu orang melemah, yang lain harus memberi dukungan. Komitmen bersama menjadikan tim tangguh dalam menghadapi tantangan.

Akhirnya, evaluasi rutin menjadi langkah penting untuk menjaga efektivitas kerja tim. Evaluasi bukanlah sarana mencari kesalahan, melainkan kesempatan untuk refleksi dan perbaikan berkelanjutan. Dari sinilah tim dapat menilai keberhasilan, memahami kekurangan, dan menyusun strategi baru secara bersama-sama.

 

LEADERSHIP OF GROUP

Dalam setiap organisasi yang membutuhkan kerja sama manusia, kepemimpinan selalu menjadi unsur paling penting. Namun, perhatian terhadapnya sering kali kurang memadai. Perkembangan konsep kepemimpinan bergerak dari yang bersifat pra-ilmiah, yang mengandalkan intuisi dan bakat alami, menuju kepemimpinan ilmiah yang berbasis analisis, fungsi, dan situasi.

Pada tahap awal, kepemimpinan dianggap sebagai anugerah atau bawaan lahir yang dimiliki seseorang. Pandangan ini kemudian bergeser menjadi pemahaman bahwa kepemimpinan bukanlah kedudukan, melainkan fungsi sosial. Kepemimpinan efektif ditentukan oleh kemampuan beradaptasi terhadap situasi dan hubungan antarindividu.

Pemimpin modern tidak lagi sekadar pengambil keputusan, melainkan pelatih (coach) dan koordinator yang membantu kelompok belajar dan bekerja lebih efisien. Tugas utama seorang pemimpin adalah menciptakan iklim sosial yang baik. Jika pemimpin memperlakukan dirinya sebagai supervisor yang “merajai” bawahan, suasana kerja akan menjadi kompetitif, penuh jarak, dan saling menyalahkan. Sebaliknya, pemimpin yang menumbuhkan rasa saling menghormati akan menciptakan suasana persaudaraan dan kebebasan, sehingga anggota merasa memiliki tanggung jawab kolektif.

Pemimpin juga berperan dalam membantu kelompok mengorganisasikan diri, menetapkan tujuan, serta membagi tanggung jawab. Ia berfungsi sebagai “ahli prosedur” yang memastikan proses kerja berjalan efisien tanpa menghilangkan nilai-nilai demokratis. Dalam menjalankan perannya, pemimpin tidak boleh memonopoli keputusan, tetapi membimbing kelompok untuk belajar mengambil keputusan sendiri. Dengan begitu, kelompok akan berkembang menjadi dewasa dan bertanggung jawab.

Selain itu, pemimpin yang efektif memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari pengalaman. Evaluasi bukan hanya pada hasil, tetapi juga pada proses. Dengan refleksi, kelompok dapat menilai cara kerja mereka secara jujur dan obyektif, lalu memperbaikinya untuk mencapai kinerja yang lebih baik di masa depan.

 

KONSEP LEARNING ORGANIZATION (LO)

Learning organization atau organisasi pembelajar merupakan entitas yang mendorong setiap individu untuk terus belajar dan memperluas kapasitas diri, agar organisasi mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman. Menurut David A. Garvin (2000), organisasi pembelajar adalah organisasi yang terlatih menciptakan, memindahkan, dan mengelola pengetahuan, serta memodifikasi perilaku berdasarkan wawasan baru. Peter Senge juga menegaskan bahwa organisasi pembelajar adalah tempat di mana orang senantiasa mengembangkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang mereka kehendaki.

Organisasi pembelajar lahir dari kesadaran bahwa keunggulan kompetitif di era global hanya bisa dicapai jika organisasi mampu bertransformasi melalui pembelajaran berkelanjutan. Tujuan utamanya bukan sekadar mempertahankan eksistensi, melainkan terus-menerus memperbaiki diri dan memperluas potensi.

Peter Senge menyebut lima disiplin utama yang menjadi pilar learning organization:

Pertama, personal mastery atau penguasaan pribadi. Ini mencerminkan kemampuan individu untuk memperdalam visi pribadi, memfokuskan energi, serta melihat realitas dengan jernih. Dalam organisasi, hal ini menciptakan budaya belajar yang menumbuhkan kesabaran dan komitmen pada tujuan.

Kedua, mental model atau pola pikir. Disiplin ini mengajarkan pentingnya refleksi atas cara berpikir dan tindakan. Individu dan organisasi diajak untuk memahami bagaimana keyakinan dan asumsi memengaruhi keputusan.

Ketiga, shared vision atau visi bersama. Visi yang dibangun secara kolektif akan mengikat anggota dalam komitmen bersama. Ia bukan sekadar dokumen formal, tetapi gambaran masa depan yang menyalakan semangat kolektif.

Keempat, team learning atau belajar bersama. Proses ini menekankan percakapan mendalam dan berpikir kolektif yang melampaui kemampuan individu. Melalui interaksi terbuka, tim dapat mengembangkan kecerdasan kolektif yang lebih besar dari jumlah anggotanya.

Kelima, systems thinking atau berpikir sistemik. Ini merupakan kerangka konseptual yang memungkinkan organisasi memahami hubungan antarbagian dan mengelola perubahan secara menyeluruh. Tanpa berpikir sistem, pembelajaran organisasi akan terfragmentasi dan tidak efektif.

Argyris dan Schön membedakan dua jenis pembelajaran organisasi: single-loop learning dan double-loop learning. Single-loop learning adalah pembelajaran yang berfokus pada perbaikan kesalahan dalam kerangka nilai dan norma yang sudah ada, sedangkan double-loop learning menuntut perubahan nilai dan strategi yang mendasari perilaku organisasi.

Selain itu, dikenal pula deutero learning (pembelajaran tentang cara belajar) dan anticipatory learning, yaitu pembelajaran yang berorientasi pada masa depan melalui perencanaan strategis. Semua jenis pembelajaran ini bertujuan menciptakan organisasi yang tanggap, reflektif, dan berorientasi inovasi.

 

KONSEP PROFESSIONAL LEARNING COMMUNITY (PLC)

Menurut Johar Permana dan Asep Suryana (2016), Professional Learning Community (PLC) adalah proses akuisisi pengetahuan melalui kolaborasi dan inquiry untuk memecahkan masalah yang muncul dari praktik kerja sehari-hari. PLC mendorong budaya belajar kolektif di lingkungan sekolah, sehingga terbangun budaya mutu yang berkelanjutan.

PLC mengandung lima domain utama: professional culture, leadership, focus on students, focus on professional learning, dan performance and development. Andy Hargreaves menambahkan bahwa PLC memerlukan budaya profesional yang ramah, suportif, penuh rasa hormat, dan saling percaya. Dukungan organisasi seperti waktu, tempat, dan sumber daya menjadi faktor penting agar PLC berkelanjutan.

Tujuan utama PLC di sekolah adalah memperbaiki strategi pembelajaran secara berkesinambungan, menumbuhkan kepercayaan diri guru, membantu siswa mencapai kompetensi tinggi, dan membangun kepemimpinan yang efektif. Dalam praktiknya, PLC diwujudkan melalui berbagai bentuk kegiatan kolaboratif seperti KKG dan MGMP di sekolah.

Guru-guru berdiskusi tentang keberhasilan dan hambatan pembelajaran, menganalisis data capaian siswa, serta merancang strategi perbaikan. Siklus ini mencakup refleksi, perencanaan, tindakan, dan evaluasi berkelanjutan. Kepala sekolah berperan penting sebagai fasilitator dan penggerak supervisi akademik untuk memastikan setiap guru terlibat aktif dalam proses tersebut.

Salah satu bentuk konkret PLC adalah lesson study. Menurut Dindin Abdul Muiz Lidinillah, lesson study merupakan model pembinaan profesi guru melalui kajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip mutual learning. Proses ini melibatkan tiga tahap: perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see).

Dalam lesson study, guru bekerja sebagai tim untuk mengidentifikasi masalah pembelajaran, merancang rencana, mengobservasi pelaksanaan, lalu merefleksikan hasilnya. Pendekatan ini menumbuhkan budaya reflektif, kolaboratif, dan kritis di kalangan guru. Seperti diungkapkan oleh Dennis Sparks (1999), lesson study adalah proses kolaboratif yang memungkinkan guru belajar bersama melalui pengalaman langsung di kelas.

Fokus utama dari PLC dan lesson study adalah membangun kesadaran profesional bahwa guru adalah pembelajar sepanjang hayat. Darling-Hammond (1993) menegaskan bahwa komunitas belajar profesional mendorong guru untuk saling mengobservasi, berdiskusi, dan merefleksikan praktik mengajar. Dengan demikian, guru tidak lagi bekerja sendiri, melainkan dalam jejaring kolegial yang saling menguatkan.

PLC yang kuat mampu mengubah budaya sekolah. Ia membentuk hubungan fungsional yang kolaboratif, mendorong refleksi bersama, dan mengembangkan semangat saling percaya. Ketika guru terbiasa bekerja dalam tim, mereka dapat mengubah hambatan menjadi peluang dan menjadikan keberhasilan siswa sebagai fokus utama.

 

KAJIAN HASIL RISET PERILAKU KELOMPOK

Berbagai penelitian telah menunjukkan pentingnya kerja tim, kepemimpinan, dan pembelajaran organisasi dalam meningkatkan kinerja. Penelitian Desvi Intan Khairani, Candra Wijaya, dan Edi Saputra (2018) di SMA Kecamatan Medan Labuhan menemukan hubungan positif antara kerja tim dan komitmen guru dengan efektivitas kinerja. Semakin baik sinergi dan komitmen dalam tim, semakin tinggi pula efektivitas kinerja guru.

Isti Fatonah (2013) menyoroti bahwa kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan memengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ia menekankan perlunya seleksi kepala sekolah yang akuntabel, pelatihan berkelanjutan, serta evaluasi melalui Penilaian Kinerja Kepala Sekolah (PKS) agar kepemimpinan pendidikan berjalan efektif.

Masrukhin (2015) melalui penelitian di SMA NU Hasyim Asy’ari Kudus menunjukkan bahwa penerapan strategi learning organization dapat meningkatkan mutu dan daya saing lulusan. Dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan melakukan analisis SWOT, sekolah mampu menghasilkan strategi yang adaptif terhadap tuntutan zaman.

Johar Permana (2016) juga menemukan bahwa pengembangan profesi guru berbasis sekolah melalui PLC merupakan pendekatan paling relevan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Melalui kolaborasi, refleksi, dan pengembangan berbasis pengalaman, guru dapat meningkatkan kemampuan profesionalnya sekaligus membangun budaya belajar yang berkelanjutan di sekolah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Allen, R. (2004). Sportive and social sensitivity in teamwork. London: Harper Business.

Daft, R. (2003). Organization theory and design (7th ed.). South-Western College Publishing.

Garvin, D. A. (2000). Learning in action: A guide to putting the learning organization to work. Harvard Business School Press.

Hunsaker, P. (2001). Training in team development. Boston: McGraw-Hill.

Johar Permana, & Asep Suryana. (2016). Model pengembangan profesi guru melalui professional learning community di sekolah menengah. Jurnal Administrasi Pendidikan, XXIII(1).

Kelly, J. (1998). Organizational behavior. New York: McGraw-Hill.

Katzenbach, J. R., & Smith, D. K. (1993). The wisdom of teams: Creating the high-performance organization. Harvard Business Press.

Masrukhin. (2015). Strategi membangun learning organization dalam meningkatkan mutu dan daya saing lulusan. Jurnal Pendidikan Islam Quality, 3(1).

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2015). Perilaku organisasi (R. Saraswati & F. Sirait, Trans.). Jakarta: Salemba Empat.

Senge, P. M. (1990). The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. Doubleday.

Syamsu Q. Badu, & Novianty Djafri. (2017). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Gorontalo: Ideas Publishing.

 

*) Tulisan ini sebelumnya disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perilaku Organisasi

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.