Antara Zakat dan Sekolah Unggulan
Oleh: Ahmad Nasri
Ketua Bidang Kominfo PC Pemuda Muhammadiyah
Blimbing
Guru Unit MTs PonPes Muhammadiyah Imam Syuhodo Blimbing Sukoharjo
Biografi singkat pendiri Persyarikatan Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah yang terekam dalam Film Sang
Pencerah memang sudah berlalu beberapa saat dari hadapan kita. Namun tampaknya
belum habis juga hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dari film tersebut.
Salah satu yang bisa kita rekam dari perjalanan K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah
dalam film Sang Pencerah tersebut adalah kerja keras dan kerja nyata beliau
dalam menterjemahkan dan mengejawantahkan ayat-ayat Al-Qur’an utamanya dalam
surat Al-Ma‘un secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Memang K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah tidak
memfokuskan secara khusus gerakannya pada bidang pendidikan. Akan tetapi saat
beliau merintis pendirian Pergerakan Muhammadiyah, salah satu langkah serius
yang beliau kerjakan adalah dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak dari
kalangan mustadh‘afin di lingkungan Kauman Jogjakarta. Kita tentu melihat saat
Kyai Dahlan rahimahullahmemerintahkan para muridnya untuk mencari
dan mengajak anak-anak orang miskin untuk dididik di sekolah yang beliau
dirikan. Di sekolah tersebut, tidak hanya pendidikan agama Islam saja seperti
madrasah-madrasah yang sudah ada saat itu, melainkan juga dengan pendidikan
umum yang tidak diberikan di madrasah maupun pesantren. Dengan mendirikan
sekolah ini tentunya Kyai Dahlan rahimahullahingin agar para
alumninya nanti dapat menyebar dan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai
penjuru negeri ini seperti yang pernah beliau contohkan.
‘Keinginan’ Kyai Dahlan rahimahullah tersebut
tampaknya memang telah terpenuhi, sehingga seperti yang kita ketahui bersama
dalam waktu singkat banyak sekolah Muhammadiyah dapat berdiri di berbagai
pelosok nusantara. Bahkan di daerah-daerah terpencil yang belum terjamah
pemerintah pun, sekolah Muhammadiyah telah hadir terlebih dahulu memberikan
pencerahan pada masyarakat. Yang patut kita banggakan juga adalah bahwa banyak
sekolah Muhammadiyah semakin hari semakin menunjukkan eksistensinya dengan
prestasi yang diraih.
Namun jika kita menengok sedikit lebih dalam dari
menjamurnya sekolah-sekolah unggul di lingkungan persyarikatan beberapa saat
terakhir ini maka kita akan melihat sebuah ironi. Bahwa dari sekolah-sekolah
Muhammadiyah di seluruh pelosok tanah air itu kita akan melihat dua model
sekolah Muhammadiyah yang amat berkebalikan, bahkan hingga seratus delapanpuluh
derajat. Yang pertama yaitu, sekolah Muhammadiyah yang unggulan pasti berbiaya
mahal sedangkan yang kedua yaitu sekolah Muhammadiyah yang biayanya murah pasti
bukan merupakan sekolah unggulan. Melihat hal ini dapat kita pahami bahwa
sekolah Muhammadiyah unggulan tidak mungkin dimasuki oleh anak-anak orang
miskin dan kebalikannya sekolah Muhammadiyah yang berbiaya murah bahkan
mengratiskan biaya bisa dipastikan tidak punya ‘nama’ di mata masyarakat karena
memang minim dalam hal prestasi. Terkadang kesenjangan ini begitu nyata tampak
di depan mata kita saat ada sekolah Muhammadiyah setingkat yang berdekatan atau
bahkan berdampingan letaknya. Yang satu berkembang dengan pesat akan tetapi
yang satunya meski berdiri tepat disampingnya bisa dikatakan ‘mati segan, hidup
tak mampu’.
Setidaknya dari yang pernah penulis alami saat duduk
di bangku SD dulu dimana sekolah penulis bersebelahan dengan MI yang sama-sama
dibawah naungan Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, tetapi kondisinya sangat
berkebalikan. SD Muhammadiyah siswanya sangat melimpah, bangunannya selalu
berkembang dari waktu ke waktu, ditambah dengan prestasi yang selalu
membanggakan. Sedangkan MI Muhammadiyah yang tepat berdiri disampingnya
kondisinya sangat memprihatinkan, muridnya terlihat sedikit, bangunannya juga
tidak layak huni karena atapnya yang hampir roboh sehingga harus disangga.
Memang ini sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun yang
lalu di daerah penulis dan sekarang tidak seperti itu lagi. Tapi saat kita
lihat di tempat lain saat ini kita masih akan melihat banyak kesenjangan yang
tidak selayaknya terjadi antara sesama sekolah Muhammadiyah. Bersamaan dengan
banyak munculnya sekolah-sekolah Islam unggulan, saat ini banyak berdiri
sekolah-sekolah Muhammadiyah unggulan. Sebut saja misalnya SD Muhammadiyah
Sapen Yogyakarta, Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammaadiyah
Condongcatur Sleman Yogyakarta dan SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat
Solo. Selain sekolah reguler tersebut kita juga akan mendapati beberapa Pondok
Pesanten unggulan di lingkungan Persyarikatan seperti Pesantren Mu’allimin dan
Mu’allimat Yogyakarta, Pesantren Modern Imam Syuhodo Blimbing Sukoharjo,
Pesantren Darul Ikhsan Muhammadiyah Sragen dan yang paling baru adalah Pondok
Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) yang didirikan oleh beberapa
Pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan.
Memang perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah
unggulan tersebut sangat menggembirakan. Antusiasme masyarakat baik warga
Muhammadiyah maupun masyarakat secara umum untuk menyekolahkan anaknya di
sekolah dan pesantren tersebut juga cukup besar. Tapi para pengelola sekolah
tersebut mungkin lupa bahwa yang berhak mendapatkan pendidikan unggul tidak
hanya anak-anak orang berada saja. Dilihat dari tingginya biaya pendidikan di
sekolah-sekolah unggulan tersebut seolah-olah hendak mengatakan pada calon
orang tua pendaftar bahwa ‘anak warga Muhammadiyah miskin dilarang mendaftar’.
Salah satu tokoh yang juga perintis sekolah Muhammadiyah unggulan bahkan pernah
mengatakan, “pengin anak pinter kok gak mau keluar banyak uang.”
Hal ini seharusnya menjadi perhatian untuk kita semua
bahwa kita perlu memikirkan nasib kaum pinggiran yang ternyata tidak sedikit
diantara mereka sebenarnya layak untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
ZISWAF Sebagai Alternatif
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
disebutkan bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Hal ini secara tidak
langsung mengisyaratkan bahwa melibatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai
kegiatan pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu konsekuensi logis
dari implementasi undang-undang tersebut. Secara lebih rinci, partisipasi
masyarakat dalam pembiayaan pendidikan berarti mengambil bagian atau peran dalam
proses-proses pembiayaan pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti
kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal,
dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya.
Dalam Islam partisipasi masyarakat dalam pendanaan ini
dapat diperoleh dengan menghimpun zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswaf) dari
masyarakat muslim. Sebagaimana yang kita ketahui Muhammadiyah melalui LazisMu
adalah salah satu lembaga yang paling dipercaya kaum muslimin untuk mengelola
dana Ziswaf tersebut. Maka kemudian dana Ziswaf yang dihimpun LazisMu dari kaum
muslimin ini merupakan potensi yang sangat besar untuk memajukan pendidikan
jika dialokasikan pada sektor pendidikan. Meskipun zakat sesungguhnya merupakan
pembiayaan yang dalam pengalokasiannya sudah mendapatkan batasan sendiri dalam
syari’at.
Dalam Q.S. At-Taubah ayat 60 secara jelas Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memang hanya menyampaikan ada 8 golongan yang berhak
memperoleh zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, untuk (memerdekakan)
budak, orang yang berhutang (gharimin), jalan Allah (sabilillah) dan orang
dalam perjalanan (ibnu sabil). Secara tersurat, pendidikan memang tidak
termasuk didalamnya, namun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
pendidikan dapat masuk dalam asnaf sabilillah.
Diantaranya adalah pendapat Syaikh DR. Yusuf Qordhowi
(1997 : 374) dalam kumpulan Fatwa-Fatwa Kontemporer beliau yang mengatakan
bahwa asnaf sabilillah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah jihad
(berperang). Tapi kemudian beliau memperluas makna jihad tersebut tidak sebatas
berperang dengan senjata saja. Namun termasuk juga segala bentuk peperangan
yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan akidah Islam
yang salah satunya diaplikasikan dengan memberikan beasiswa kepada generasi muda
Islam atau dengan mendirikan sekolah.
Dan ternyata sekolah yang berbasis ziswaf ini tidak
kalah bersaing dengan sekolah lain yang lebih dulu ada. Smart Ekselensia di
Parung Bogor adalah salah satu sekolah yang dibiayai penuh dari dana ziswaf.
Bahkan lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh Dompet Dhuafa
Republika tersebut temasuk sekolah unggulan yang mampu mengimplementasikan
pendidikan tingkat SMP dan SMA hanya dalam waktu 5 tahun. Selain itu siswa di
sekolah tersebut juga tak dikenakan biaya sama sekali alias gratis.
Di Solo kita akan mengenal SMK IT Smart Informatika.
Meskipun tergolong sekolah baru, sekolah gratis yang dikelola oleh LAZIS
Yayasan Solo Peduli ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai lomba dan
kejuaraan baik lokal, regional maupun nasional pernah diikutinya, bahkan
beberapa diantaranya dapat dimenangkan oleh siswa-siswi sekolah tersebut.
Selain SMKIT Smart Informatika, pada sektor pendidikan ini Solo Peduli juga
mengelola SDIT-SMPIT Smart Cendekia, Pesantren Yatim-Dhuafa Baiturrohmah dan
pemberian beasiswa bagi lulusan SMA sederajat untuk melanjutkan kuliah di
beberapa universitas.
Di lingkungan pendidikan Muhammadiyah kita juga akan
mendapati Pondok Pesantren Manafiul Ulum Sambi Boyolali yang mencari biaya dari
ZISWAF dari kaum muslimin untuk memenuhi biaya operasional dan kehidupan
pesantren sehingga anak-anak hanya membayar semampunya (Mohamad Ali, 2009 :
204).
Melihat beberapa kasus tersebut seharusnya masyarakat
kita menyadari bahwa dari dana yang berasal dari Ziswaf (zakat, infak, sedekah
dan wakaf) tersebut sebenarnya menyimpan potensi yang sangat besar untuk
memajukan sektor pendidikan kita. Tentu jika dana tersebut dikelola dengan
profesional, transparan dan akuntabel. Maju tidak hanya secara kuantitas semata
tetapi juga dapat benar-benar bersaing secara kualitas dengan sekolah-sekolah
unggulan yang lain.
Sehingga nantinya kita tidak merasa bahwa apa yang
telah dirintis dan ditinggalkan oleh K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah utamanya
berupa lembaga pendidikan akhir-akhir ini telah dikelola secara menyimpang dari
semangat beliau. Yaitu kalau dulu lembaga pendidikan Muhammadiyah didirikan
untuk membantu rakyat kecil yang tidak bisa memasuki lembaga pendidikan yang
didirikan oleh Belanda, sedangkan saat ini beberapa sekolah Muhammadiyah yang
berpredikat unggulan justru sulit bahkan mustahil untuk dimasuki golongan
menengah kebawah dan cenderung menjadi ladang bisnis bagi elit-elit lembaga
tersebut. Wallahu A’lam
*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi no. 18 / X – Rabiul Akhir – Jumadil Awal 1434 H
Tidak ada komentar