Filantropi Profetik untuk Pendidikan
Oleh: Muhammad Nasri Dini
Guru MTs Al Amin Ponpes Modern Al Amin Palur Mojolaban Sukoharjo
Pendidikan merupakan suatu komponen
penting dalam pengembangan sumberdaya manusia suatu bangsa. Melihat pentingnya
pendidikan tersebut, menuntut adanya sebuah konsekuensi bahwa pendidikan
selamanya harus tetap berlangsung. Dan untuk menjaga kelangsungan pendidikan
tersebut diperlukan sebuah pembiayaan. Menurut Dedi Supriadi (2003 : 3), bahwa
biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental
input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah).
Bahkan lebih lanjut dia menyampaikan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di
sekolah) tidak akan berjalan. Senada dengan pendapat sebelumnya, Mulyasa (2007
: 47) mengemukakan bahwa keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumberdaya
yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan
pendidikan.
Biaya merupakan sebuah komponen vital
dari berlangsungnya sebuah penyelenggaraan pendidikan. Sehingga ada dan
tidaknya biaya kemudian menjadi faktor yang sangat mempengaruhi sebuah lembaga
pendidikan dapat berjalan atau tidak. Biaya dalam hal ini dapat diartikan dalam
cakupan yang luas, artinya semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan baik dalam bentuk uang, barang maupun tenaga yang dapat dimasukkan
kedalam biaya.
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Hal ini
secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa melibatkan partisipasi masyarakat
dalam berbagai kegiatan pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu konsekuensi
logis dari implementasi undang-undang tersebut. Secara lebih rinci, partisipasi
masyarakat dalam pembiayaan pendidikan berarti mengambil bagian atau peran
dalam proses-proses pembiayaan pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan
mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian,
modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya.
Saat ini kita mengenal adanya istilah
dana filantropi, yaitu dana yang dikumpulkan dalam rangka kemanusiaan.
Sedangkan dalam Islam dana semacam itu biasa dikenal dengan nama zakat, infak, sedekah
dan wakaf (Ziswaf). Dana Ziswaf tersebut bisa kita sebut sebagai filantropi yang berbasis
profetik. Yaitu pengumpulan dana yang tidak hanya berdasarkan rasa kemanusiaan
saja, tetapi juga berdasarkan ajaran dan teladan yang dibawa oleh Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka partisipasi masyarakat dalam pembiayaan
pendidikan ini kemudian bisa dilakukan dengan cara menghimpun dana Ziswaf.
Dana Ziswaf yang dihimpun dari
masyarakat ini merupakan potensi yang sangat besar untuk memajukan pendidikan
jika dialokasikan pada sektor tersebut. Meskipun zakat merupakan pembiayaan
yang sesungguhnya dalam pengalokasianya sudah mendapatkan batasan sendiri dalam
syari’at.
Dalam Q.S. At-Taubah ayat 60 secara
jelas Allah Subhanahu Wa Ta’ala memang hanya menyampaikan ada 8 golongan
yang berhak memperoleh zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf, untuk
(memerdekakan) budak, orang yang berhutang (gharimin), jalan Allah (sabilillah)
dan orang dalam perjalanan (ibnu sabil). Secara tersurat, pendidikan
memang tidak termasuk didalamnya, namun ada beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa pendidikan dapat masuk dalam asnaf sabilillah.
Diantaranya adalah pendapat Syaikh DR.
Yusuf Qardhawi (1997 : 374) dalam kumpulan Fatwa-Fatwa Kontemporer beliau yang
mengatakan bahwa asnaf sabilillah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah
jihad (berperang), tapi kemudian beliau memperluas makna jihad tersebut tidak
sebatas berperang dengan senjata saja namun termasuk juga segala bentuk
peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan
akidah Islam yang salah satunya diaplikasikan dengan memberikan beasiswa kepada
generasi muda Islam atau dengan mendirikan sekolah.
Dan ternyata sekolah yang berbasis
ziswaf tidak kalah bersaing dengan sekolah lain yang lebih dulu ada. Smart
Ekselensia di Parung Bogor adalah salah satu sekolah yang dibiayai penuh dari
dana ziswaf. Bahkan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Dompet Dhuafa
Republika tersebut temasuk sekolah unggulan yang mampu mengimplementasikan
pendidikan tingkat SMP dan SMA hanya dalam waktu 5 tahun. Selain itu siswa di
sekolah tersebut juga tak dikenakan biaya sama sekali atau gratis.
Di Solo kita juga mengenal SMK IT Smart
Informatika. Meskipun tergolong sekolah baru, namun sekolah gratis yang
dikelola oleh LAZ Yayasan Solo Peduli ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Berbagai lomba dan kejuaraan baik lokal, regional maupun nasional pernah
diikutinya, bahkan beberapa diantaranya dapat dimenangkan oleh siswa-siswi
sekolah tersebut. Selain SMK IT Smart Informatika, pada sektor pendidikan ini
Solo Peduli juga mengelola SDIT Smart Cendekia, Pesantren Yatim-Dhuafa
Baiturrohmah dan pemberian beasiswa bagi lulusan SMA sederajat untuk
melanjutkan kuliah di beberapa universitas.
Selain Smart Ekselensia dan Smart
Informatika tersebut, meski jumlahnya belum bisa dikatakan banyak, tapi kita
juga masih akan mendapati beberapa lembaga yang mencoba memberdayakan dana
Ziswaf untuk mengelola lembaga pendidikan atau memberikan beasiswa pendidikan.
Sebutlah diantaranya LAZIS Jateng dan Baitulmal FKAM.
Melihat fenomena tersebut seharusnya masyarakat kita menyadari bahwa dari dana yang berasal dari filantropi berbasis profetik atau yang biasa kita sebut Ziswaf (zakat, infak, sedekah dan wakaf) tersebut sebenarnya menyimpan potensi yang sangat besar untuk memajukan sektor pendidikan kita jika dikelola dengan profesional, tranparan dan akuntabel. Maju tidak hanya secara kuantitas semata tetapi juga dapat benar-benar bersaing secara kualitas dengan sekolah-sekolah unggulan yang lain.
*) Tulisan ini dimuat pada Kolom Guru Kita di Majalah Hadila edisi 59 - Mei 2012

Tidak ada komentar