Profesional atau Kekeluargaan?
Tahun pertama saya menjabat sebagai Kepala SMP Muhammadiyah Wonorejo, sebelum berganti nama menjadi SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo, adalah masa penataan, terutama dalam hal manajemen profesionalisme guru. Saat itu, banyak guru di tempat kami yang hanya jadi sambilan, guru “terbang” yang mengajar di banyak tempat. Maka saya tegaskan bahwa semua guru di tempat kami wajib fulltime dan fullday. Konsekuensinya, bagi yang tidak bersedia, terpaksa atau dipaksa harus mundur. Memang pasti ada tantangan. Jika tidak salah ingat, pada tahun pertama dan kedua masih ada dua guru yang bertahan dengan pola lama. Guru yang satu bahkan 'sangat luar biasa', bisa nanti diceritakan pada tulisan lain.
Itulah mengapa saya kadang merasa gregetan ketika mendengar ada sekolah yang wakil kepala sekolah urusan kurikulum kesulitan menyusun jadwal karena terlalu banyak guru terbang. Padahal itu bukan sepenuhnya salah dia, karena dia hanya menjalankan, bukan menetapkan kebijakan. Akar persoalannya ada pada pimpinan, kepala sekolah, atau siapa pun pemegang keputusan.
Faktanya, di sekolah tertentu yang saya tidak sebut namanya tapi saya sedikit tahu keadaan di dalamnya, sampai sekarang masih banyak guru yang mengajar di dua bahkan tiga tempat. Di sekolah itu, jam mengajarnya hanya dua jam per pekan. Saat mau mengambil upaya penertiban, pertimbangannya pun beragam: karena ada yang mengaku sebagai pendiri sekolah, ada guru senior yang dulu "babat alas", atau ada pula guru yang punya hubungan keluarga dengan tokoh A atau B. Akhirnya, penataan tak bisa dilakukan dengan pendekatan profesionalisme, tapi harus melalui pendekatan kekeluargaan, atau pendekatan kemakluman.
Dampaknya besar, di antaranya terhadap pembengkakan anggaran keuangan sekolah. Walaupun jam mengajarnya hanya dua jam, sehingga gaji pokoknya kecil, namun tunjangannya bisa besar. Ketika ada pembagian apa pun, mereka tetap ikut dijatah. Dan saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menghela nafas. Asem banget rasanya.

Tidak ada komentar