Header Ads

Header ADS

Umat Islam dan Kemerdekaan Indonesia


Judul             : Perjuangan yang Dilupakan

Penulis          : Rizki Lesus

Penerbit        : Pro-U Media, Yogyakarta

Cetakan        : Pertama, 2017

Dimensi        : 14 X 20 cm (soft cover)

Tebal            : 296 halaman

No. ISBN      : 978-602-7820-62-3

 

“Slogan kita tetap sama: Merdeka atau Mati. Dan kita tahu, Saudara-saudara, bahwa kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar. Percayalah, Saudara-saudara, bahwa Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar... Allahu Akbar...!”

(Bung Tomo, menjelang Surabaya 10 November 1945)

 

Sejak April 1945, Perang Dunia II hampir sampai di penghujungnya. Menyadari Sekutu akan tiba di Nusantara dan untuk merebut dukungan rakyat Indonesia, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Walhasil, para founding fathers negeri ini berkumpul, membahas tentang Indonesia dari nol. Apa nama negara ini? Apa dasar negaranya? Bagaimana bentuknya? Bagaimana undang-undangnya? Dan segudang pembahasan yang lain.

Dari segudang pembahasan tersebut, muncul dua kelompok besar. Yaitu Kelompok nasionalis Islam, yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebagai rasa syukur atas rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dan kelompok nasionalis sekuler yang hendak memisahkan Islam dan negara. Tak semua tokoh naik podium untuk menyampaikan ide dan gagasannya. Salah satu pembicara yang maju ialah tokoh nasionalis Islam, Pimpinan Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, semoga Allah SWT merahmatinya.

Setelah membuka dengan salam, beliau memulai pidatonya dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an, di antaranya penggalan Surat Al Fatihah, “Ya Allah, berikan kami petunjuk ke jalan yang benar, yaitu jalan yang telah engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Berkali-kali Ki Bagus mengingatkan hadirin agar meluruskan niat. Karenanya, dalam membentuk negara pun harus mengikuti teladan Sang Nabi SAW. Beliau menegaskan agar membangun negara di atas ajaran Islam. Dengan gamblang dan tegas beliau berdakwah tentang negara berdasarkan agama Islam di depan para pendiri negara ini.

Penggalan cerita di atas adalah salah satu momen perjuangan ulama dalam menegakkan Islam di bumi Nusantara, yaitu melalui jalur konstitusi. Ada banyak kisah perjuangan umat Islam, ulama, kiai dan santrinya yang terekam dalam buku berjudul “Perjuangan yang Dilupakan”  ini. Rizki Lesus, pemerhati sejarah yang juga penggagas dan penggiat komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) ini mencoba merangkum perjuangan para pendiri bangsa, bagaimana peranan para ulama, dan apa pesan pendiri bangsa untuk generasi selanjutnya. Penulis hendak mengulas perjuangan umat Islam yang terlupakan atau sengaja dilupakan dalam sejarah Indonesia. Karena Islam dan Indonesia sejatinya memang tak bisa dipisahkan.

Kalau kita memaknai sejarah panjang bangsa ini, ketika kolonialisme berupaya memecah belah tanah air kita, maka sejarah berbicara bahwa umat Islam adalah yang terdepan melawannya dengan semangat jihad fi sabilillah. Sayangnya, saat kemerdekaan datang “atas berkat Rahmat Allah”, justru ada upaya dari sebagian kalangan untuk mengubur dan menutup rapat peran Islam dan umat Islam dalam melahirkan dan merawat negara ini.

Penulis membagi buku ini menjadi empat bagian: bagian pertama, Syariat Islam pada Konstitusi Indonesia; bagian kedua, Umat Islam di Baris Depan Perjuangan; bagian ketiga; Cerdas Siasat Para Diplomat; dan bagian keempat, Paling Setia pada Indonesia. Kisah tentang dakwah konstitusi Ki Bagus Hadikusumo pada awal tulisan ini bisa dibaca secara lengkap pada bagian pertama dengan subjudul “Setangkai Syukur untuk Negeri Impian”.

Masih pada bagian pertama, penulis menyajikan sejarah disusunnya Piagam Jakarta (Djakarta Charter) yang merupakan sebuah kesepakatan bangsa yang lahir setelah perdebatan panjang dalam sidang BPUPKI. Dalam sidang yang membahas dasar negara, rancangan pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar dan juga teks proklamasi kemerdekaan tersebut, hadir juga perwakilan kaum Kristen, Mr. Alex Andries Maramis. Di samping AA Maramis, tokoh-tokoh yang tergabung dalam tim sembilan panitia penyusun dasar negara adalah: H. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mohammad Yamin dan Ahmad Subarjo.

Setelah disepakatinya Piagam Jakarta, ternyata syariat Islam masih di ujung perdebatan dan harus mengalami jalan panjang. Hingga satu hari, tepatnya pada 18 Agustus 1945. Sejarah kelam bagi umat Islam Indonesia bermula. Dalam suasana muram, Kasman Singodimejo, tokoh muda Muhammadiyah merasakan penyesalan besar dalam hidupnya. Dirinya merasa dimanfaatkan untuk menghilangkan ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta dengan melobi Ki Bagus Hadikusumo. 25 jam setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” raib.

Pada bagian kedua buku ini, penulis menceritakan kepada pembaca seputar perjuangan kaum muslimin dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Adalah Kongres Umat Islam di Yogyakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim saat itu menghasilkan beberapa poin penting, yaitu: (1) Tiap-tiap penjajahan adalah suatu kezaliman yang melanggar kemanusiaan dan dengan nyata diharamkan oleh agama Islam; (2) Untuk menghilangkan imperialisme di Indonesia, tiap muslim wajib berjuang dengan jiwa dan raga bagi kemerdekaan negara dan agama; dan (3) Masyumi merupakan pusat persatuan umat Islam Indonesia, sehingga dapat mengerahkan dan memimpin perjuangan umat Islam seluruhnya.

Masih di bagian kedua, pada subjudul “Bakti Santri untuk Negeri” dikisahkan tentang fatwa jihad pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Fatwa 17 September tersebut di antaranya berisi: (1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam!; (2) Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA (Belanda) serta komplotannya adalah mati syahid!; dan (3) Hukumnya orang yang memecah persatuan umat Islam kita ini wajib dibunuh!

Dari fatwa jihad 17 September inilah kemudian lahir Resolusi Jihad oleh Pengurus Besar NU pada 22 Oktober 1945. Dari Resolusi Jihad ini juga sejarah mencatat teriakan takbir Bung Tomo yang kemudian menggema sebagai semangat perjuangan rakyat di seluruh penjuru Surabaya. Dalam sebuah siaran radio menjelang 10 November, Bung Tomo berpidato dengan penuh semangat dan meneguhkan rakyat akan kemenangan dan kebesaran Allah SWT. 10 November, hati kaum  muslimin teguh, bahwa semua jihad ini hanya ditujukan untuk Allah...

Pada bagian keempat, kita akan menemukan berbagai kisah yang barangkali jarang atau tidak terdapat dalam buku-buku sejarah ‘konvensional’. Yaitu tentang peran aktif bangsa Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Dalam buku-buku sejarah, kita hanya akan mendapat informasi bahwa bangsa di dunia yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Tetapi hanya informasi itu yang kita dapat dan tidak lebih. Padahal Mesir tidak hanya mengakui kemerdekaan Indonesia semata, Raja Farouk, pemimpin Mesir saat itu bahkan mendukung penuh jihad kaum muslimin di Indonesia, termasuk dengan mengirim persenjataan. Tidak hanya Mesir, atas informasi dari Sekjen Liga Arab, Abdurrahman Azzam Pasya, Raja pertama Arab Saudi, Abdul Aziz al Saud  juga menanggung biaya pengangkutan senjata ke Indonesia.

Selain Mesir dan Arab Saudi, Sidang Pleno Liga Arab di penghujung 1946 juga merekomendasikan anggota-anggotanya untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Pada waktu-waktu selanjutnya, terjalinlah hubungan mesra Indonesia dengan negara-negara Arab yang notabene beragama Islam, sama dengan agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia saat itu.

Membaca buku Rizki Lesus ini pembaca bisa kembali memaknai sejarah perjuangan umat Islam Indonesia secara lebih lengkap. Mulai dari kemerdekaan, penyusunan konstitusi, perjuangan (jihad) mempertahankan kemerdekaan, proses mendapatkan kedaulatan, dan banyak lagi lainnya. Uniknya, membaca buku ini tidak terasa membosankan seperti saat membaca buku bernuansa sejarah pada umumnya. Karena penulisnya menyuguhkan buku setebal 296 halaman ini dengan gaya bahasa yang ringan dan mengalir. Membacanya, terkadang merasa seperti sedang membaca novel, bahkan rasanya diri ini langsung berada dalam pusaran peristiwa sejarah itu sendiri. Wallahu a’lam [M. Nasri Dini]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.