Perang Pemikiran dalam Sebuah Novel
Judul Buku :
KEMI
Penulis : Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Dimensi : 18. 3 cm x 12 cm (soft cover)
Bukan
Novel Biasa. Begitu tulisan yang tercantum pada cover trilogi novel yang
ditulis oleh Dr. Adian Husaini tersebut. Karena novel ini memang tergolong sebagai
sebuah novel yang berbeda dan terbilang unik jika dibandingkan dengan
novel-novel yang sebelumnya pernah lahir dari dunia penerbitan di negeri kita.
Pasalnya, pakar pemikiran Islam terkemuka yang juga Ketua Program Magister dan
Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor ini mengulas materi yang
sebenarnya bisa dikatakan sebagai hal yang ‘berat’, namun dapat dirangkai
sedemikian rupa sehingga bisa terasa ‘ringan’ dan menjadi mudah dimengerti.
Menjadikan masyarakat yang awam terhadap liberalisme memahami dengan mudah isi
dan kerangka fikir kaum liberalis, konflik yang diciptakan serta intrik-intrik
yang ada di dalamnya.
Novel
KEMI diterbitkan oleh Gema Insani Press (GIP) Jakarta dalam tiga edisi dengan
sub judul yang berbeda; jilid pertama berjudul “KEMI, Cinta Kebebasan yang Tersesat” (cetakan I: 2010, 316
halaman); kemudian “KEMI 2, Menyusuri
Jejak Konspirasi” (cetakan I: 2012, 253 halaman); dan yang terakhir “KEMI 3, Tumbal Liberalisme” (cetakan I:
2015, 268 halaman). Novel ini berkisah tentang pergolakan pemikiran
kontemporer, pertentangan antara pemikiran barat dengan pemikiran Islam. Secara
umum, novel ini mengajak umat Islam untuk menyaksikan fenomena krisis akidah
yang sampai beberapa tahun terakhir ini belum berhenti menjadi ancaman bagi
Islam. Yaitu menjamurnya paham Sepilis (sekulerisme, pluralisme dan
liberalisme) yang disuarakan oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam. Para
tokoh yang biasa disebut sebagai cendikiawan atau intelektual muslim.
Cinta Kebebasan yang Tersesat
Pada
novel pertama, dikisahkan bahwa Ahmad Sukaimi atau yang biasa disapa Kemi,
salah satu santri cerdas Pondok Pesantren Minhajul Muslimin asuhan Kyai Rois,
tiba-tiba pergi dari pesantren tanpa alasan yang jelas. Kemi kemudian memulai
aktivitas barunya pada salah satu kampus di Jakarta. Penasaran dengan kepergian
Kemi, salah satu sahabatnya yang bernama Rahmat menyusul Kemi ke Jakarta untuk
menelisik dan berkeinginan untuk mengembalikan sahabatnya itu kembali ke
pesantren. Setelah bertemu, Rahmat pun mendapati bahwa pemikiran Kemi sudah
berubah total dan tidak seperti dulu lagi. Kemi sudah terjangkit virus
liberalisme. Kemi dan kawan-kawannya aktif menyebarkan pemikiran ini melalui
pelatihan dari pesantren ke pesantren, kampus ke kampus, dan berbagai tempat
lainnya.
Pada
akhir novel pertama ini dijelaskan juga tentang latar belakang di balik
aktivitas Kemi dan kawan-kawannya sesama aktivis liberal. Bahwa di belakang
aktivitas Kemi tersebut ternyata ada orang-orang yang menunggangi penyebaran
pemikiran liberal, yaitu demi uang dan cairnya dana dari pihak asing yang
menghendaki menyebarnya pemikiran liberal di tengah-tengah masyarakat kaum
muslimin Indonesia. Kasus ini berhasil diusut oleh Polisi dengan ditangkapnya
Roman yang diceritakan sebagai teman diskusi Kemi. Kemi pun sadar akan
kesalahan pilihannya, walaupun harus dibayar dengan taruhan nyawa.
Menyusuri Jejak Konspirasi
Pada
novel kedua, diceritakan tentang upaya untuk menelusuri dan membongkar
aktor-aktor di balik menyebarnya virus liberalisme di negeri ini. Diceritakan
pula tentang konsekuensi dari taubatnya Kemi yang sebelumnya disebutkan dalam
novel pertama. Perebutan Kemi oleh sesama aktivis liberal pun menjadi babak
selanjutnya perjalanan Kemi. Kemi diculik dari rumah sakit dan dikirim ke pusat
pengobatan canggih.
Selanjutnya,
kasus penganiayaan Kemi pun mendapat perhatian khusus dari kalangan nasional
hingga internasional, termasuk dari para aktivis yang menyebarkan paham Islam
liberal, bahkan pimpinan yayasan asing yang mendanai proyek-proyek liberalisasi
Islam di Indonesia harus turun tangan untuk menyelesaikan kasus ini. Mereka
merasa bahwa Kemi adalah santri yang potensial untuk melancarkan
langkah-langkah dalam menyebarkan paham liberal di Indonesia.
Orang-orang
yang mengetahui tentang penganiayaan Kemi pun tergerak untuk menelusuri, apa yang
sebenarnya terjadi dengan Kemi, siapa dalang di balik semua itu, dan apa
motifnya. Pergulatan Islam dan liberalisme memasuki babak yang semakin seru
melibatkan tokoh penting, seperti Doktor Rajil, pengamat politik terkenal, dan
Habib Marzuki, pegiat Islam yang dicap garis keras. Kalau pada novel pertama,
Rahmat adalah tokoh utama yang berusaha meluruskan Kemi dari kesesatan
pikirannya, dalam novel kedua, bisa dikatakan Habib Marzuki adalah salah satu
tokoh sentral dalam novel ini.
Tumbal Liberalisme
Kemi
3 menutup kisah pergulatan Islam versus liberalisme dengan babak akhir yang
tragis. Novel ketiga ini terbagi menjadi 9 bab; Pak Karmi, Setelah Sadar, Mencium Jejak Kemi, Kemi Kembali, Gundah Pak
Karmi, Ke Pesantren, Nasib Rajil, Derita Kemu, dan Tumbal Liberalisme.
Meski telah sadar dan berusaha kembali ke jalan yang benar, Kemi pun pada
akhirnya juga harus menjadi tumbal liberalisme.
Novel
ketiga ini menceritakan akhir perjalanan dan petualangan Kemi. Angan-angan
kebebasan yang didambakan Kemi berujung tragis. Kemi justru dihinakan, diperas
dan disiksa. Akhirnya Kemi ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi
dengan keadaan mulut berbusa, wajahnya teduh, matanya setengah terbuka. Sebagai
akhir sebuah trilogi, Kemi 3 menyajikan keteladanan tinggi beberapa tokohnya
dalam dunia pendidikan yang sangat jarang terjadi di dunia nyata.
Kesimpulan
Kalau
bisa dirangkum secara singkat; dalam novel pertama, diceritakan tentang seorang
yang awalnya sangat Islami, bisa terjerumus dalam virus liberalisme dan menjadi
pembela dan penyebarnya. Meskipun pada akhirnya, satu per satu para aktivis
liberal ditelanjangi dan dipatahkan logika-logikanya. Harus ada orang-orang
yang berada di garda depan untuk membendung arus liberalisme agama tersebut.
Sebagaimana dicontohkan oleh Rahmat yang mencoba menyelamatkan Kemi dari lubang
liberalisme.
Selanjutnya
dalam novel kedua, liberalisme bukan barang yang ada secara tiba-tiba. Ada
jaringannya, ada motifnya, dan ada penyandang dananya. Inilah yang seringkali
membuat orang-orang kepincut kepadanya. Uang mengalahkan segalanya. Adanya
berbagai macam ‘institute’ atau ‘lembaga penelitian’ atau ‘pusat studi’ bisa juga menjadi kedok
jaringan liberalisme. Dan jaringan penyebaran paham liberalisme tersebut, dari
dalam dan luar negeri harus bisa dibongkar. Novel Kemi 2 mengisahkan
terbongkarnya jaringan liberalisme tersebut.
Terakhir,
pada novel ketiga, orang liberal juga bisa mendapat hidayah Allah SWT. Taubat
pun juga mengandung konsekuensi yang tidak ringan bahkan berujung pada
kematian. Orang-orang, dan organisasi-organisasi Islam yang lurus haris
mendampingi para liberalis yang bertaubat tersebut. Karena setelah bertaubat
mereka akan menjumpai berbagai tekanan dari orang-orang yang dulu pernah
membiayai, menyertai dan menyokong mereka. Jika mereka terbongkar, maka mereka
akan bereaksi, salah satunya akan membuat nyawa melayang jika para liberalis
tersebut benar-benar merasa terancam keberadaannya. Seperti Kemi, yang akhirnya
mati, menjadi tumbal liberalisme.
Dr.
Adian Husaini adalah tokoh yang dikenal konsen dalam melawan segala bentuk liberalisasi
yang berpotensi merusak ajaran Islam. Doktor bidang pemikiran dan peradaban
Islam Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic
University Malaysia (ISTAC-IIUM) tersebut sudah banyak menulis buku-buku untuk
menunjukkan kepada umat tentang betapa bahayanya liberalisasi ajaran Islam.
Kali ini, mantan anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut menggunakan
novel untuk menunjukkan kepada umat betapa berbahayanya Islam liberal.
Novel karya Dr. Adian Husaini ini sangat bermanfaat dan bisa menjadi rujukan bagi yang masih bingung dan merasa awam dengan ajaran dan pola pikir kaum liberal. Bagi yang rajin mengikuti kajian-kajian dan buku-buku yang ditulis oleh beliau, novel ini kurang lebih isinya sama. Membacanya seperti mengulang lagi ilmu-ilmu yang pernah beliau sampaikan, hanya saja dengan gaya penulisan populer.
Sastrawan Nusantara terkenal, Taufik Ismail dalam endorsment novel ini mengatakan, “Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yg ideal dan tokoh-tokoh pesantren yg berwawasan luas, sekaligus gigih membendung gelombang liberalisme.” Wallahu a’lam [M. Nasri Dini]

Tidak ada komentar