Demonstrasi, Nahi Munkar dan Persatuan Umat
Oleh: Ahmad Nasri
Anggota Majelis Tabligh PC Muhammadiyah Blimbing-Sukoharjo
Alhamdulillah, 4 November 2016 yang lalu, umat Islam Indonesia mendapatkan
momentum untuk kembali bersatu dalam sebuah barisan besar. Adalah Gerakan
Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang menginisiasi Seruan Jihad
Konstitusional Bela Agama dan Negara dalam Aksi Bela Islam II. Aksi ini
dilakukan sebagai bentuk pembelaan umat Islam terhadap Al-Qur’an, utamanya
Surat Al-Maidah ayat 51 yang sudah dianggap sebagai alat kebohongan oleh salah
satu Calon Gubernur DKI Jakarta yang juga petahana, Basuki Tjahaja Purnama.
Setidaknya ada dua catatan yang akan penulis kemukakan terkait dengan
dilaksanakannya Aksi Bela Islam II tersebut.
Pertama, Aksi Bela Islam adalah salah satu bentuk amar
makruf nahi munkar umat Islam kepada penguasa. Kewajiban amar makruf nahi
munkar sudah disepakati oleh seluruh ulama kaum muslimin. Berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 110)
Meskipun dalam bentuk aksi damai atau dalam istilah kita juga disebut
dengan demonstrasi adalah hal yang tidak disepakati kebolehannya oleh para
ulama. Satu pihak mengatakan demonstrasi adalah menolak kemungkaran dengan
kemungkaran yang baru. Di antara yang melarang keras bahkan mencela adanya
demonstrasi adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz, dan seluruh ulama yang berada jajaran Hai’ah
Kibaril Ulama’ atau dewan fatwa tertinggi Kerajaan Arab Saudi.
Sedangkan ulama yang membolehkan demo di antaranya adalah Syaikh Dr. Yusuf
Al-Qaradhawi, seperti dalam salah satu fatwanya, “Tidak diragukan lagi bahwa
demonstrasi (aksi damai) adalah sesuatu yang disyariatkan, karena termasuk
seruan dan ajakan kepada perubahan (yang lebih baik) serta sebagai sarana untuk
saling mengingatkan tentang haq, juga sebagai kegiatan amar
makruf nahi munkar.”
Syaikh Dr. Salman Al-Audah saat ditanya tentang hukum aksi demo
untuk Palestina di negara non-muslim beliau menjawab, “Kami tidak melihat
adanya masalah dengan umat Islam berkumpul untuk mengungkapkan kutukan mereka
terhadap ketidakadilan. Aksi demonstrasi seperti itu hendaknya dilakukan secara
damai dan tidak mengganggu kenyamanan orang-orang atau menghambat mereka dari
bekerja. Peserta demo harus berupaya keras menghindari semua tindakan yang
haram.”
Di antara dalil aksi damai atau demonstrasi adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ
بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا
عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
An-Nisa [4]: 148)
Dalam tafsirnya, Imam asy-Syaukani berkomentar tentang ayat ini, “Para ahli
ilmu berbeda pendapat mengenai tata cara “al-jahru bi as-suu’”
(mengucapkan suatu keburukan seseorang dengan terang-terangan) yang
diperbolehkan untuk yang terzalimi. Ada yang menyatakan hendaknya mendoakannya.
Ada juga yang berpendapat, tidak mengapa mengucapkan kepada khalayak bahwa “Fulan
telah menzalimi saya” atau “Si fulan telah berbuat zalim”, atau
ucapan semisalnya. Allah lebih menyukai (berpihak) terhadap orang yang
terzalimi daripada yang pelaku kezaliman.
Salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, Ustadz KH.
Muzayyin Marzuki, M.A pernah menyampaikan bahwa aksi damai 4 November 2016 yang
lalu lebih tepat jika disebut dengan ‘Jihadul Kalimah’ bukan Jihadus
Saif (jihad pedang). jihadul kalimah bukan jihad musallah. Dalam jihad
musallah senjatanya pedang yang tajam. Sedangkan dalam jihadul kalimah
senjatanya kata-kata yang tajam.
Beliau merujuk dari salah satu hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik)
di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud no. 4344, Ibnu Majah no.
4011, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari hadits di atas adalah: 1)
Mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran termasuk jihad; 2)
Menasihati pemimpin yang zalim termasuk jihad; 3) Jihad itu bertingkat-tingkat,
ada yang lebih utama dari yang lain; dan 4) Bolehnya berhadapan dengan pemimpin
yang zalim ketika ia berbuat zalim dengan mengajaknya pada kebaikan dan
melarangnya dari kemungkaran.
Dalam Hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِيْنَ
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan-lisan
kalian.” (HR. Ahmad, al-Nasai, Ibnu Hibban, dan al-Hakim,
dishahihan Al-Albani)
Bahkan, Ustadz Farid Ahmad Okbah, M.A, Direktur Islamic Center
Al-Islam Bekasi yang juga inisiator Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI) lebih tegas lagi dalam menyikapi fatwa tentang hukum demo
(aksi) ini. Ustadz Farid membedakan hukum demo menjadi dua, yaitu jika
dilakukan di negara yang menjalankan hukum Islam dan di negara yang tidak
menjalankan hukum Islam. Beliau mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan demokrasi, sedangkan di negara demokrasi, demonstrasi adalah hal yang
diperbolehkan dan difasilitasi. Karena demonstrasi adalah salah satu alat
demokrasi.
Maka tidak pada tempatnya jika menggunakan fatwa dari ulama Arab Saudi
untuk menghukumi demonstasi di Indonesia. Karena Arab Saudi bukan negara
demokrasi sehingga sudah pas jika mereka melarang demonstrasi di negaranya
sendiri. Sedangkan di Indonesia, maka lebih tepat jika meminta fatwa dari ulama
setempat. Karena fatwa tergantung keadaan dan fatwa bisa berubah tergantung
tempat dan waktu yang berbeda.
Benar kata Ustadz Farid, demonstrasi memang hal yang diperbolehkan dalam
konstitusi negara kita. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, disebutkan dalam
bab IV Pasal 9 bahwa bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat
dilaksanakan dengan: a. unjuk rasa atau dernonstrasi; b. pawai; c. rapat umum;
dan atau d. mimbar bebas.
Kedua, Aksi 4 November adalah momentum bersatunya umat
Islam di Indonesia. Ustadz Farid Okbah pernah menyampaikan dalam sebuah
ceramahnya bahwa setidaknya ada dua hal yang bisa menyatukan umat ini. Pertama,
adanya ulama karismatik yang bisa diterima dan bisa menyatukan semua kalangan.
Kedua, menghadapkan umat Islam dengan ‘mengangkat’ musuh bersama.
Untuk poin yang pertama yaitu ulama yang karismatik, maka sangat sulit
ditemukan di negeri ini. Setiap kelompok, ormas Islam, jam’iyyah, perkumpulan,
majelis ta’lim atau yang semacamnya mempunyai tokoh panutan masing-masing. Yang
bisa jadi tokohnya itu tidak diterima di kelompok yang lain. Tapi untuk poin
kedua ini sangat mungkin untuk dilakukan. Seperti halnya dalam masalah Syiah,
kaum muslimin secara umum sepakat bahwa Syiah adalah sesat. Minimal sesat,
karena ada pendapat lain yang mengatakan Syiah bahkan sudah keluar dari Islam.
Dalam hal Aksi Bela Islam II, mayoritas umat Islam sepakat bahwa Ahok telah
menistakan Al-Qur’an. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dalam pendapat dan
sikap keagamaan yang dikeluarkan dan langsung ditandatangani oleh Ketua Umum
Dr. KH. Ma’ruf Amin dan Sekretaris Jenderal Dr. H. Anwar Abbas, M.M menyatakan
bahwa, “kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan
Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya
haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Qur’an. Menyatakan bohong terhadap
ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan
menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama
dan umat Islam. Berdasarkan hal di atas, maka pernyataan
Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan: (1) menghina Al-Qur’an dan atau (2)
menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.”
Dalam rangka mengawal pernyataan sikap MUI Pusat tersebut, sekumpulan tokoh
Islam kemudian menggalang Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI).
Aliansi yang digawangi Habib Muhammad Rizieq Shihab, Lc, M.A dan Front Pembela
Islam (FPI) ini menyedot hampir seluruh ormas Islam bergabung di dalamnya,
meski beberapa tidak membawa bendera ormasnya masing-masing. Gerakan ini
dipimpin oleh Ustadz H. Bachtiar Nasir, Lc (Sekjend MIUMI, Anggota Majelis
Tarjih PP Muhammadiyah) sebagai ketua, Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, M.A
(Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah) sebagai sekretaris dan Koordinator Lapangan
H. Munarman, S.H (Panglima Laskar FPI).
Selain tokoh di atas, hadir dalam Aksi Bela Islam II di antaranya Pimpinan
Majelis Az Zikra KH. Arifin Ilham, Pimpinan PonPes Darut Tauhid KH. Abdullah
Gymnastiar, Pimpinan Perguruan Asy Syafi’iyyah KH. Abdullah Syafi’i, Syaikh Ali
Jaber, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. HM. Amien Rais, M.A, termasuk
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, beberapa politisi
seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon juga tampak hadir. Selain ormas Islam dari
Jabodetabek, aksi ini juga diikuti massa dari sejumlah daerah di Indonesia,
seperti beberapa kota di Jawa, Medan, Makassar, Palembang dan masih banyak
lagi.
Dalam aksi damai tersebut, bersama massa umat Islam yang berasal dari
seluruh Indonesia yang diperkirakan mencapai dua jutaan orang, massa dari
Muhammadiyah sendiri diperkirakan lebih dari 35.000 orang (sangpencerah.id).
Tidak hanya ikut berdemonstrasi, Muhammadiyah juga menyiapkan layanan
kesehatan, konsumsi bahkan membentuk tim satuan tugas khusus untuk
bersih-bersih sampah. Tim satgas khusus sampah ini dibentuk untuk membersihkan
sampah-sampah agar tak mengotori fasilitas umum.
Tidak hanya di Indonesia, Komunitas Muslim Indonesia yang tinggal di
sejumlah negara di luar negeri juga menggelar aksi serupa. Aksi Bela Islam
bertajuk #penjarakanAhok digelar di antaranya di Jerman,
Malaysia, Sydney Australia, Washington DC Amerika dan Pakistan. Aksi serupa
juga digelar pelajar muslim Indonesia di Delft, Belanda, warga muslim
Indonesia yang bermukin di Oman.
Aksi damai ini bahkan secara tidak langsung juga didukung oleh da’i yang
tidak sepakat dengan demonstrasi seperti Abu Yahya Badrussalam, Lc dan Rektor
STID Imam Syafi’i Jember Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. Dalam sebuah postingan
video di Youtube Ustadz Badrussalam mengatakan bahwa beliau sangat setuju jika
Ahok yang telah menghina Al-Qur’an harus dikasih pelajaran. Walaupun secara
terus terang beliau menyatakan tidak setuju dengan masalah demonya.
“Tapi yang namanya penghina Al-Qur’an harus dikasih pelajaran. Tapi ingat
ya, jangan sampai bikin rusuh, perlihatkan keindahan Islam, perlihatkan akhlak
Islam supaya orang lihat bahwa Islam itu adalah agama yang damai dan indah,”
kata Badrussalam.
Sedangkan Dr. Muhammad Arifin Badri dalam status FB yang diposting 2
November pukul 13:46 menulis, “Sudah saatnya setiap aparat
muslim untuk berkata kepada pimpinan dan kesatuannya: segera proses si HOAK
(Ahok-red) dan berikan hukum yang setimpal, demi terjaganya stabilitas keamanan
dan kesatuan bangsa kita tercinta ini. Aparat dan saudaraku demonstran! jaga
keutuhan negri kita, keselamatan nyawa setiap muslim, dan fokus pada cita-cita
kita semua: tindak HOAK segera dan dengan hukuman seberat beratnya, agar
ulahnya yang meresahkan, menindas dan memecah belah negri kita tercinta ini
dapat dihentikan. Ya Allah, lindungilah setiap nyawa ummat islam, aparat dan
para demonstran, dan kembalikan semua ummat Islam ke pangkuan Islam yang murni
jauh dari noda hitam yang ditaburkan oleh bangsa JIN yang terbukti telah
membuka jalan untuk si HOAK dan cecunguknya. Amiin.”
Selain ulama, kyai, ustadz, da’i dan para tokoh yang membersamai umat,
dapat dilihat pula peran aghniya’ dan muhsinin yang membantu berjalannya aksi
dengan dana meraka. Penulis merasakan sendiri peran umat Islam yang tidak mau
ketinggalan untuk ikut serta menyukseskan Aksi Bela Islam ini dalam bentuk
dana. Tidak lebih dari sepekan, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Blimbing
dapat menghimpun dana hingga puluhan juta rupiah untuk memberangkatkan peserta
aksi.
Maka kita dapat merenungkan kembali sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits,
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah bersama jamaah kaum Muslimin.” (HR. Tirmidzi,
Shahih menurut Syaikh Al Albani)
إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى
ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR.
Ibnu Majah)
Dari hadits di atas menunjukkan dua hal yaitu:1) wajib mengikuti al-jama’ah
yaitu yang disepakati kaum muslimin dan diharamkan untuk meninggalkan dan
menyelisihinya; 2) selamatnya umat ini dari kesalahan dan kesesatan.
Maka dalam masalah Ahok ini, kita melihat para ulama, kyai, tokoh Islam,
da’i, ustadz semuanya sepakat bahwa dia telah mencela Al-Qur’an dan para ulama.
Dan kita semua sepakat pula bahwa Ahok ini harus segera diadili. Semangat
persatuan umat ini merupakan cerminan sikap al-Wala' wal Bara’ umat
Islam. Ber-wala’ (loyal) kepada Allah, Rasulullah,
Al-Qur'an, Islam dan kaum muslimin. Dan ber-bara’ (berpaling/tidak
loyal) terhadap penista Al-Qur'an dan siapapun yang berada dibelangnya; baik
secara terang-terangan atau sembunyi. Wallahu a’lam
*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh No. 11/XIV | Rabiul Awal 1438 H / Desember 2016 M
Tidak ada komentar