Ber-Muhammadiyah: Berorganisasi dalam Amal Islami
Muhammad
Nasri Dini
Sekretaris
Bidang Kominfo PD Pemuda Muhammadiyah Sukoharjo – Jateng
Muhammadiyah baru saja selesai menggelar hajatan terbesar
lima tahunan berupa Muktamar ke-47 di Makassar. Dari hajatan tersebut telah
dipilih para pimpinan baru yang diberi amanah untuk menahkodai berlayarnya
kapal besar yang berusia lebih dari 100 tahun ini. Selepas Muktamar, beberapa
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) juga sudah atau akan melaksanakan
Musyawarah Wilayah (Muswil) di propinsi masing-masing. Pada organisasi otonom (ortom),
Pemuda Muhammadiyah (dimana penulis aktif) bahkan sudah pada tahap Musyawarah
Daerah (Musda) yang akan disusul dengan Musyawarah Cabang (Muscab) dan
Musyawarah Ranting (Musran).
Tidak sembarangan orang dipilih untuk menjalankan
amanat organisasi pada Muktamar atau permusyawaratan di bawahnya, baik di Muhammadiyah
atau ortomnya. Mereka dipilih karena dipercaya punya kemampuan dan komitmen untuk
menjalankan roda organisasi, sehingga dalam satu periode mampu melaksanakan
program yang direncanakan.
Karenanya, siapa pun yang diberi amanat kepemimpinan
pada posisi apapun, tidak boleh terlena atau meremehkan amanat itu. Nasihat
Rasulullah dalam hal ini patut kita renungkan, “Kullukum ra‘in wa kullukum
mas‘ulun ‘an ra‘iyatihi”. Setiap diri kita adalah pemimpin dan setiap
pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu.
Bertanggungjawab di hadapan manusia dan di hadapan Allah Ta‘ala. Sekecil apapun
lingkup kepemimpinannya.
Agaknya perlu kita renungkan pula nasihat berharga dari
Buya H. Risman Muchtar, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode
2015-2020. Seperti diceritakan dalam status facebook pribadi beliau bahwa
beberapa saat setelah muktamar yang lalu, ada yang bertanya kepada beliau, “Setelah
muktamar ini, nanti Anda jadi apa di Muhammadiyah?”
Jawaban Buya Risman tampaknya bisa kita ambil ibrahnya
sebagai warga biasa maupun pimpinan di Muhammadiyah. “Di Muhammadiyah tidak
perlu jadi-jadian, jadi apapun asal ikhlas dan mau ambil bagian tanggung jawab,
berjuang dan berkorban dalam gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar,
insya Allah kita akan menjadi “muflihuun”, yaitu orang-orang yang
sukses, di dunia berjaya dan di akhirat berbahagia. Di yaumil akhir
nanti, tidak ada pertanyaan apa jabatan dan Kartu Muhammadiyah Anda nomor
berapa. Akan tetapi yang pasti setiap kita adalah pemimpin, setiap pemimpin
akan diminta tanggungjawab dari kepemimpinannya. Setiap muslim adalah da‘i yang
bertanggungjawab untuk melanjutkan tugas risalah dakwah Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wasallam, apalagi sebagai orang yang mengaku pengikut Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam (Muhammadiyyuun), tentu akan ditanya
apa yang telah kita lakukan untuk mendakwahkan Islam itu. Oleh karena itu
apapun jabatan Anda, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, termasuk saya, mari
kita ikhlaskan niat kita untuk berjihad di jalan Allah dengan cara ambil bagian
tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dakwah.”
Muhammadiyah telah merumuskan Pedoman Hidup Islami
Warga Muhammadiyah (PHIWM) pada Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Sebuah
matan (teks) resmi persyarikatan yang mengatur norma-norma berperilaku dalam
segala bidang kehidupan, termasuk pedoman dalam berorganisasi. Idealnya setiap warga
persyarikatan yang diberi amanat sebagai anggota pimpinan dari Pusat hingga
Ranting, bahkan di tingkat Jamaah berkewajiban mengkaji kembali PHIWM tersebut.
Agar dari dalam dirinya dapat menghadirkan kekuatan ruhiyah dan ghirah
(semangat) berorganisasi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena tentunya
diperlukan komitmen yang kuat dari setiap anggota pimpinan sehingga pada
akhirnya semangat dan komitmen tersebut dapat menjalar kepada warga
Muhammadiyah pada umumnya.
Ada 16 poin yang tercantum dalam PHIWM khusus
berkaitan dengan pedoman untuk berorganisasi secara Islami. Selengkapnya akan
dijelaskan dalam pemaparan berikut ini.
Pertama, Persyarikatan Muhammadiyah
merupakan amanat umat yang didirikan dan dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan untuk
kepentingan menjunjung tinggi dan menegakkan Agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, karena itu menjadi tanggungjawab
seluruh warga dan lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan dan
bagian untuk benar-benar menjadikan organisasi (Persyarikatan) ini sebagai
gerakan dakwah Islam yang kuat dan unggul dalam berbagai bidang kehidupan.
Kedua, Setiap anggota, kader dan
pimpinan Muhammadiyah berkewajiban memelihara, melangsungkan dan menyempurnakan
gerak dan langkah Persyarikatan dengan penuh komitmen yang istiqamah,
kepribadian yang mulia (shidiq, amanah, tabligh dan fathanah),
wawasan pemikiran dan visi yang luas, keahlian yang tinggi dan amaliah yang
unggul sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang benar-benar menjadi rahmatan
lil `alamin.
Poin
pertama dan kedua ini menasihatkan kepada kita untuk senantiasa profesional dalam
menjalankan roda organisasi. Dalam artian memaksimalkan potensi berbeda-beda
yang dimiliki oleh masing-masing warga persyarikatan. Jangan sampai komponen
organisasi satu dengan yang lainnya (misal antar majelis, antar ortom atau
antar AUM) justru melakukan persaingan tidak sehat dan saling menjatuhkan. Karena
pada hakikatnya, semuanya ada untuk saling melengkapi agar tercipta harmonisasi
organisasi.
Ketiga, Dalam menyelesaikan
masalah-masalah dan konflik-konflik yang timbul di Persyarikatan hendaknya
mengutamakan musyawarah dan mengacu pada peraturan-peraturan organisasi yang
memberikan kemaslahatan dan kebaikan seraya dijauhkan tindakan-tindakan anggota
pimpinan yang tidak terpuji dan dapat merugikan kepentingan Persyarikatan.
Hal
ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya: “...dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 159)
“Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy Syura [42]: 38)
Keempat, Menggairahkan ruh al Islam dan
ruh al jihad dalam seluruh gerakan Persyarikatan dan suasana di
lingkungan Persyarikatan sehingga Muhammadiyah benar-benar tampil sebagai
gerakan Islam yang istiqamah dan memiliki ghirah yang tinggi dalam mengamalkan
Islam.
Kelima, Setiap anggota pimpinan
Persyarikatan hendaknya menunjukkan keteladanan dalam bertutur-kata dan
bertingkahlaku, beramal dan berjuang, disiplin dan tanggungjawab, dan memiliki
kemauan untuk belajar dalam segala lapangan kehidupan yang diperlukan.
Keenam, Dalam lingkungan Persyarikatan
hendaknya dikembangkan disiplin tepat waktu baik dalam menyelenggarakan
rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang selama ini
menjadi ciri khas dari etos kerja dan disiplin Muhammadiyah.
Dari tiga
poin di atas dapat kita simpulkan bahwa seorang warga Muhammadiyah dituntut
untuk selalu istiqamah dengan ruh al Islam dan ruh al Jihad, konsisten dan
komitmen dalam mengamalkan Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dan generasi awal Islam dari kalangan sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in (salafush shalih) radhiallahu ‘anhum. Termasuk
berdisiplin dan memiliki etos kerja Islami dalam berorganisasi. Sehingga dirinya
secara pribadi akan menjadi teladan dalam segala aspek kehidupan dan Muhammadiyah
pun akan menjadi gerakan Islam yang dapat diteladani oleh gerakan-gerakan Islam
yang lain.
Ketujuh, Dalam acara-acara rapat dan
pertemuan-pertemuan di lingkungan persyarikatan hendaknya ditumbuhkan kembali
pengajian-pengajian singkat (seperti kuliah tujuh menit-kultum) dan selalu
mengindahkan waktu shalat dan menunaikan shalat jama'ah sehingga tumbuh gairah
keberagamaan yang tinggi yang menjadi bangunan bagi pembentukan keshalihan dan
ketaqwaan dalam mengelola Persyarikatan.
Kedelapan, Para pimpinan Muhammadiyah hendaknya
gemar mengikuti dan menyelenggarakan kajian-kajian keislaman, memakmurkan
masjid dan menggiatkan peribadahan sesuai ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi, dan
amalan-amalan Islam lainnya.
Ada
gejala yang terjadi di beberapa elemen persyarikatan, bahwa mereka lebih senang
sibuk berorganisasi dan meninggalkan ruh-ruh Islam. Sehingga kegiatan
organisasi lebih utama dan shalat pun terkadang harus ditunda. Kajian-kajian keislaman
juga tak lagi digemari. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang ‘alergi’ jika
ada nasihat yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Padahal dua hal itu adalah ruh
Muhammadiyah.
Kesembilan, Wajib menumbuhkan dan
menggairahkan perilaku amanat dalam memimpin dan mengelola organisasi dengan
segala urusannya, sehingga milik dan kepentingan Persyarikatan dapat dipelihara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dakwah serta dapat
dipertanggungjawabkan secara organisasi.
Kesepuluh, Setiap anggota Muhammadiyah
lebih-lebih para pimpinannya hendaknya jangan mengejar-ngejar jabatan dalam
Persyarikatan tetapi juga jangan menghindarkan diri manakala memperoleh amanat
sehingga jabatan dan amanat merupakan sesuatu yang wajar sekaligus dapat
ditunaikan dengan sebaik-baiknya, dan apabila tidak menjabat atau memegang
amanat secara formal dalam organisasi maupun amal usaha hendaknya menunjukkan
jiwa besar dan keikhlasan serta tidak terus berusaha untuk mempertahankan
jabatan itu lebih-lebih dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan
akhlaq Islam.
Dari dua
poin ini penulis punya kalimat hikmah yang pantas untuk direnungkan setiap
warga apalagi pimpinan persyarikatan, “Amanah (jabatan) tidak dicari, tapi jika
diberi maka tidak boleh lari”.
Kesebelas, Setiap anggota pimpinan
Muhammadiyah hendaknya menjauhkan diri dari fitnah, sikap sombong, ananiyah
(egoisme), dan perilaku-perilaku yang tercela lainnya yang mengakibatkan
hilangnya simpati dan kemuliaan hidup yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai
pemimpin.
Seringkali
budi pekerti yang baik memang lebih berharga daripada banyaknya ilmu agama yang
dimiliki. Mengadaptasi pesan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, hendaknya
kita mengajarkan aqidah yang lurus kepada umat (orang awam) dan mengajarkan
akhlaq pada ahli ilmu (para aktivis dakwah).
Keduabelas, Dalam setiap lingkungan
Persyarikatan hendaknya dibudayakan tradisi membangun imamah dan ikatan jamaah
serta jam'iyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh dan berkembang sebagai
kekuatan gerakan dakwah yang kokoh.
Ketigabelas, Dengan semangat tajdid
hendaknya setiap anggota pimpinan Muhammadiyah memiliki jiwa pembaru dan jiwa
dakwah yang tinggi sehingga dapat mengikuti dan memelopori kemajuan yang
positif bagi kepentingan `izzul Islam wal muslimin (kejayaan
Islam dan kaum muslimin) dan menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
alam semesta).
Keempatbelas, Setiap anggota pimpinan dan pengelola
Persyarikatan di manapun berkiprah hendaknya bertanggungjawab dalam mengemban
misi Muhammadiyah dengan penuh kesetiaan (komitmen yang istiqamah) dan
kejujuran yang tinggi, serta menjauhkan diri dari berbangga diri (sombong dan
ananiyah) manakala dapat mengukir kesuksesan karena keberhasilan dalam
mengelola amal usaha Muhammadiyah pada hakikatnya karena dukungan semua pihak
di dalam dan di luar Muhammadiyah dan lebih penting lagi karena pertolongan
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah, maka sudah selayaknya semua yang bernaung di dalamnya
berkomitmen terhadap dakwah. Tegas dalam aqidah namun santun dalam bermuamalah.
Seimbang dalam menjaga purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (tajdid). Semuanya
dijalankan dengan niat dan tujuan yang tulus, yaitu li i'lai kalimatillah,
untuk menjunjung tinggi kalimat Allah. Bukan tujuan yang lain, apalagi bermaksiat
kepada Allah.
Kelimabelas, Setiap anggota pimpinan maupun
warga Persyarikatan hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan taqlid, syirik,
bid'ah, tahayul dan khurafat.
Muhammadiyah
pada awalnya didirikan KH. Ahmad Dahlan salah satunya untuk memberantas taqlid
(fanatik buta), syirik dan TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Maka sebagai
penerus dakwah beliau, sudah sepantasnya kita juga berkomitmen terhadap
ajaran-ajaran beliau tersebut.
Ketujuhbelas, Pimpinan Persyarikatan harus
menunjukkan akhlaq pribadi muslim dan mampu membina keluarga yang Islami.
Untuk mewujudkan masyarakat Islami, baldatun tayyibatun warabbun ghafur, harus dimulai dari hal yang kecil, pribadi, keluarga, lingkungan masyarakat sekitar, termasuk dalam profesi dan berorganisasi, hingga negara dan dunia dalam skala yang luas. Warga dan pimpinan persyarikatan sudah selayaknya meneladankan perilaku hidup Islami tersebut kepada kaum muslimin pada umumnya. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar