Rindu Miskomunikasi?
Saat saya menjadi pimpinan dulu, ada beberapa pola pengambilan keputusan yang biasa saya lakukan. Seingat saya minimal ada tiga:
Pertama, jika keputusan sudah saya tetapkan sebelumnya, maka dalam forum rapat hanya saya sosialisasikan saja kepada anggota untuk bersama-sama dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Pada tahap ini saya tidak membuka ruang usulan, apalagi tawar-menawar, karena keputusan yang saya tetapkan sifatnya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.
Kedua, apabila saya memiliki beberapa opsi, saya menyampaikannya dalam forum koordinasi untuk didiskusikan dan kemudian disepakati bersama mana yang paling tepat dan dianggap terbaik untuk dilaksanakan. Kadang saya juga menyampaikan opsi ‘unggulan’ menurut pandangan saya, meskipun hasil akhirnya tidak selalu opsi tersebut yang dipilih dan disepakati oleh forum.
Ketiga, ketika saya sama sekali tidak memiliki opsi, saya langsung melemparkannya ke forum musyawarah untuk menggali pendapat dan menentukan langkah apa yang terbaik dilaksanakan demi kebaikan bersama.
Pengalaman tersebut mengingatkan saya bahwa kualitas kepemimpinan tidak hanya diukur dari ketegasan dalam mengambil keputusan, tetapi terutama dari kemampuan membangun komunikasi yang sehat dan terbuka. Tanpa koordinasi, keputusan sebaik apa pun akan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan kegagalan pada tahap pelaksanaannya. Justru melalui komunikasi yang terjaga, setiap keputusan dapat dan dijalankan bersama-sama. Bahkan dalam keputusan yang mungkin tidak diterima oleh beberapa pihak pun, minimal dapat dipahami bahwa itu adalah keputusan yang lahir dari komunikasi, koordinasi, rapat, musyawarah dan pertemuan antara pimpinan dan anggotanya. Bukan keputusan pribadi.
Ketidaksinkronan, kesalahpahaman bahkan miskomunikasi pun bisa muncul justru karena adanya komunikasi di antara pihak-pihak terkait. Lalu, bagaimana jika tidak ada komunikasi sama sekali?

Tidak ada komentar